Kerugian negara dari terbitnya sertipikat ganda di lahan tersebut dapat diurai berdasarkan tabel dibawah ini: Â Â
UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian merupakan regulasi teknis yang mengatur perkeretaapian, bukan merupakan regulasi kepemilikan (tidak mengatur tentang kepemilikan / pengalihan aset). Â
Batas Kepemilikan Right of Way (ROW) kereta api menurut PT KAI (Persero) berdasarkan dari modal kekayaan Negara yang tertanam dalam Perusahaan Umum (PERUM ) Kereta Api (PP 57 tahun 1990 tentang perubahan dari Perjanka ke Perumka dan PP 19 1998 tentang Perumka ke Perusahaan Perseroan (PT.KAI)); dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1994 Nomor: 194/KMK.016/1994 tentang Penetapan Modal Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Per 1 Januari 1991. Â
Kegiatan Inventarisasi dan penilaian BMN prasarana perkeretaapian yang dilaksanakan pada tahun 2010 berdasarkan Pedoman Penertiban Barang Milik Negara berupa Prasarana Perkeretaapian pada Ditjen Kereta Api Kementerian Perhubungan, berisi klausul penting yang belum dilaksanakan oleh Tim Pelaksana satker Ditjen Perkeretaapian, Tim PT KAI (Persero), dan Tim Pelaksana DJKN. Karena klausul yang ada di Pedoman tidak dilakukan, maka  seharusnya Rekapitulasi Laporan Hasil Inventarisasi  tidak sah. Â
Asal Muasal Sertipikat GandaÂ
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, akhirnya kedua sertipikat milik PT KAI (Persero) dan Ditjen Kereta APi yang diterbitkan BPN Kabupaten Bogor disandingkan: Â
Keluarnya sertipikat kedua muncul di era reformasi, dimana hampir semua sistem pemerintahan setengah lumpuh dan terbuka banyak celah bagi oknum untuk mencari keuntungan pribadi serta kelompok. Pada tahun 1998 Ditjen Kereta Api belum dibentuk melainkan masih berada dalam tugas Ditjen Perhubungan Darat dibawah Departemen Perhubungan. Tim penelitian tanah yang mengeluarkan berita acara sebagai penunjuk dalam sertipikat kedua pada tanggal 18/02/1998 dilakukan juga sebelum Ditjen Kereta Api ada karena Ditjen Kereta Api baru ada pada tahun 2005. Selain ada beberapa revisi coretan tanggal penerbitan dan di dalam surat ukur yang ada pada sertipikat kedua, untuk mengurai benang kusut ini perlu ditarik benang merah ke belakang apakah ada proyek registrasi aset negara yang dilakukan pada tahun tersebut guna menilik besar anggaran yang dikeluarkan dan muara anggaran tersebut. Karena objek lahan yang di sengketakan adalah objek yang sama sementara nilai asumsi yang digunakan berbeda. Tampaknya lahan yang di sertipikatkan merupakan lahan yang sudah disertpikatkan oeh PJKA sepuluh tahun lebih awal dengan bukti legal. Hal ini mendorong asumsi adanya dugaan penyelewengan anggaran bila memang pada tahun itu dianggarkan. Tetapi bila asumsi ini salah, setidaknya persoalan ini bertolak dari kesalahan penilaian dan pengambilan keputusan tanpa menggunakan data kearsipan yang sudah ada tanpa berkoordinasi dengan pihak terkait. Â
Barangkali ini menjadi celah pejabat dan pihak yang berkepentingan pada saat itu untuk melakukan korupsi di tanah abu-abu dimana pada saat itu Indonesia menjalani masa reformasi di semua bidang yang membuka celah untuk oknum melakukan proyek fiktif dimana dampak ulah mereka muncul dewasa ini menyertai potensi kerugian dan kecarutmarutan administrasi pertanahan dalam hal sertipikat. Setidaknya ini merupakan pelajaran sangan berharga untuk memperbaiki kinerja dari aparat dan menghindarkan persoalan yang berdampak luas di kelak kemudian hari dan merugikan bagi negara.
SetyawanÂ