Mohon tunggu...
Kantah Kabupaten Paniai
Kantah Kabupaten Paniai Mohon Tunggu... Penulis - Pelayanan Masyarakat

menulis itu seni yang abadi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Beragama dan Demokrasi

17 Januari 2017   13:25 Diperbarui: 17 Januari 2017   13:30 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki ajaran yang shoheh fi kulli zamanin wa makanin (benar pada setiap waktu dan tempat) tereduksi oleh dominannya penafsiran doktrin syariah ketika dihadapkan pada perbedaan penafsiran dalam kehidupan sosial, sehingga menjadikan sikap keagamaan para jamaah kelompoknya sangat terbatas bila berinteraksi dengan kelompok aliran agama yang lain.

Menurut Zulkarnain, secara normatif doktriner, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta-kasih, dan kerukunan. Kenyataan sosiologi yang ada, agama justru sering memperlihatkan wajah konflik yang tidak kunjung reda, ketegangan dan kerusuhan. Sebagai contoh adalah konflik yang teradi baru-baru ini diberbagai daerah di Indonesia seperti di Sambas, Aceh, Kupang, Ambon dan beberapa daerah lainnya. Hal ini mengakibatkan kerugian yang besar, baik berupa kerugian materiil dan immateriil yang disebabkan oleh komunitas umat beragama.

Aliran keagamaan yang tumbuh di Indonesia sangat banyak. Masing-masing aliran memiliki ideologi keagamaan sendiri-sendiri yang merupakan sebuah hasil dari penafsiran di dalam kelompoknya. Perbedaan ini sebenarnya sebagai suatu bentuk pluralitas dalam suatu agama. Apabila perbedaan itu disebabkan karena agama, bukan karena interpretasi, maka pluralisme mudah untuk diwujudkan. Hal ini dapat terjadi karena landasan pijakan jelas berbeda, apalagi ketika diaplikasikan di Indonesia yang menganut asas demokrasi, dimana dalam suatu agama direfleksikan sebagai kebebasan nurani yang paling hakiki.

Persoalan yang muncul adalah ketika interpretasi setiap aliran keagamaan yang masing-masing aliran mengaku paling benar, padahal hasil interpretasi tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, apalagi hasil penafsirannya tersebut diakuinya sebagai doktrin agama yang apabila tidak dilaksanakan mereka merasa berdosa. Undang-Undang Dasar 1945 sesungguhnya memberi ruang bagi perbedaan tafsir, sejauh menjalankan ibadah itu dilakukan dengan tertib dan damai, tidak ada hak-hak yang dilanggar. Namun demikian, ruang untuk berbeda tafsir disini dihilangkan dan yang tersisa adalah tindak kekerasan yang melawan hukum seperti pembakaran, pengusiran dan pengucilan.

Berdasarkan laporan dari United Nation Support Facility to Indonesian Recovery (UNSFIR) yang berjudul Patterns of Collective Violence in Indonesia 1999-2003 menunjukkan tingginya tingkat kekerasan komunal di Indonesia, yakni mencapai angka 89,3%. Dalam peristiwa kekerasan itu, kekerasan antar agama maupun didalam agama yang sama, dengan aliran atau kelompok berbeda merupakan jenis kekerasan yang paling banyak terjadi dan menyebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Kepentingan umat beragama dalam kehidupan sosial sering tumpang-tindih. Ketegangan, bahkan konflik di Indonesia dengan masalah agama dapat dipetakan menjadi lima kategori, yaitu intern aliran; lintas aliran dalam suatu agama; lintas agama; agama dan kepercayaan lokal serta agama dan negara.

KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menulis buku bertajuk Saleh Sosial Saleh Ritual. Dalam buku tersebut Gus Mus menyidir dengan sangat halus dan menusuk prilaku beragama kita yang sering kali masih sangat kekanak-kanakan. Kita masih primitive dan ndeso dalam beragama. Melihat orang yang berbeda adalah melihat musuh yang harus diperangi, yang harus dilawan,yang harus dibinasakan.Tampaknya kita sampai dengan detik ini belum bisa menjadi umat yang dewasa, umat yang bisa menghargai perbedaan umat yang menjadikan perbedaan sebagai bahan baku persatuan (unity in diversity). 

Pada prinsipnya demokrasi dan agama sama-sama menciptakan nilai-nilai luhur seperti kebebasan,kejujuran, keadilan,toleransi dan saling menghormati satu sama lain. Dalam agama islam diajarkan juga mengenai titik temu antara nilai-nilai islam dan demokrasi seperti prinsip persamaan (al-Musawah), kebebasan (al-Hurriyah), konsultasi (al-Syura), keadilam (al-Adalah), konsesus (ijma) dan akuntabilitas (Mas’uliyah). 

Dalam Kristen, berdemokrasi sebagai tujuan penciptaan manusia.Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 1:26-29, menjelaskan bahwa Tuhan memberkati kepemimpinan manusia yang ditugaskan untuk mengelola segala ciptaNya di dunia dengan baik. Dalam Buddha, terbentuknya sangha merupakan cerminan demokrasi. Sangha adalah persekutuan umat Buddha dalam usaha meraih kesucian tanpa memandang perbedaan kelas dan kasta. 

Agama Konghucu menyatakan bahwa etika Konfusianisme telah melahirkan kehidupan demokrasi di cina kuno ditandai dengan keadilan dalam pendidikan, toleransi dalam umat beragama dan pemerintah yang egaliter. Amatlah jelas bahwa demokrasi dan agama-agama di Indonesia sama-sama mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal seperti keadilan, kejujuran, toleransi dan independensi. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat disinergikan dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kita bisa menjadi seorang penganut agama yang saleh serta dapat menjadi warga negara yang patriolik demi terciptanya persatuan bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun