Berputarnya waktu tak membuat memori lama kita menjadi hilang. Dalam jasa perbankan misalnya, saya selalu menempatkan Bank Niaga dalam posisi yang istimewa. Melongok ke belakang, saya menjadi nasabah bank berlogo khas dengan warna dasar merah ini pada 1997. Awalnya, tak banyak pertimbangan, selain karena dekat dengan kantor yang saat itu berada di bilangan Blok M - Woltermonginsidi. Kalau pun sedikit alasan idealis, mungkin karena Bank Niaga adalah segelintir bank ‘nasionalis’ alias pribumi asli namun punya reputasi bagus. Kebetulan juga saya pengagum Robby Johan, Presdir Bank Niaga saat itu, yang juga dikenal sebagai salah satu ‘empu’ manajemen di republik ini.
Sayang, target Robby untuk menempatkan Bank Niaga sebagai bank ke lima terbesar di Indonesia tidak tercapai. Krisis moneter yang meluluh lantakkan sendi-sendi perbankan pada 1998, telah mengubah lanskap industri dan jasa keuangan di Indonesia. Pada akhirnya, banyak bank lokal yang collapse.
Mereka yang mampu bertahan kebanyakan berganti majikan karena aturan Bank Indonesia yang mensyaratkan kecukupan modal (CAR) sebesar 8% tak mampu dipenuhi pemilik lama. Termasuk juga Bank Niaga yang terpaksa menerima pinangan dari investor asing, yakni CIMB dari Malaysia. Masuknya grup CIMB pada 2002, disusul rampungnya proses merger dengan Bank Lippo pada Mei 2008, membuat riwayat panjang Bank Niaga yang dibangun duet Robby Johan dan Yulius Tahija pada 1955 akhirnya tamat. Berganti wajah menjadi CIMB Niaga hingga kini.
Bagi CIMB Group, masuknya mereka ke Bank Niaga juga menjadi catatan menarik. Sebelum mengakuisisi Bank Niaga, CIMB Group ternyata punya banyak resistensi. Dalam satu kesempatan, CEO CIMB Group Nazir Razak mengungkapkan bahwa akusisi atas Bank Niaga sempat membuat nilai saham perusahaan anjlok hingga 20% dan publik menjadi pesimis.
“Coba pikirkan, saat itu orang-orang bersikap khawatir dengan buruknya kondisi Indonesia. Namun kami (CIMB Group) yang pertama kali dan satu-satunya perusahaan yang berani membeli Bank Niaga”, ujarnya.
Ditengah kepungan opini minor, Razak tak bergeming. Meski begitu, keputusan mengakusisi bank di kawasan Asia Tenggara merupakan keputusan paling menantang baginya. Pasalnya, langkah strategis itu harus diambil saat krisis ekonomi melanda ke seluruh negara-negara ASEAN.
”Bila Anda lihat disekeliling ASEAN, orang-orang mengingkari janji. Ada lagi yang bilang keuangan CIMB akan jatuh ke jurang. Kami memang punya dana US$ 1,4 milyar, tapi harus hati-hati, kokoh dan yakin pada pandangan sendiri. Melihat secara jangka panjang dan harus meningkatkan nilai tambah”, tambahnya.
Namun Razak sebenarnya tidak sedang berjudi. Hanya butuh sedikit kesabaran dan tak hirau dengan nada-nada sumbang. Sejalan dengan membaiknya iklim perbankan dan dunia usaha di Indonesia, keberanian CIMB mengakuisisi Bank Niaga terbukti adalah keputusan tepat. Kinerja bank yang pernah dikuasai oleh Hasyim Djoyohadikusumo, adik Prabowo Subianto itu terus membaik.
Faktanya tak butuh lama buat CIMB Niaga untuk mencetak rapor positif. Pada semester 1/2009, CIMB Niaga yang pada awal perubahan dikomandani oleh mantan Dirut Telkom Arwin Rasyid, membukukan laba bersih Rp 696 milyar atau meningkat 20% bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 578 milyar.
Meroketnya laba bersih itu juga sekaligus mendongkrak total asset mencapai Rp 102,1 trilyun atau meningkat 2% dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 100,6 trilyun. Dan yang lebih penting, kinerja yang apik itu telah melonjakkan CIMB Niaga sebagai bank terbesar ke lima di Indonesia.
Kini delapan tahun setelah proses merger dengan Bank Lippo, kinerja CIMB Niaga tak pernah surut. Tengok saja, untuk periode sembilan bulan yang berakhir pada 30 September 2015, Bank ini mencatatkan laba bersih business as usual (BAU) Rp 618 miliar, menghasilkan earning per share (EPS) BAU Rp 24,60. Hingga akhir September 2015, total kredit Bank CIMB Niaga Rp 178,89 triliun, tumbuh 7,2% secara year on year (yoy).