Seperti Anda yang mungkin jarang lagi membaca koran, saya pun lebih banyak mengakses media digital untuk mencari tahu informasi yang berkembang. Selain Detikcom, dua portal media yang kerap saya sambangi adalah Beritasatu.com dan Sindonews.com. Meski demikian, sesekali saya tetap membaca Koran, meski terbatas pada Kompas. Satu-satunya koran tersisa di kantor, setelah langganan koran lain, seperti Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Kontan dan Koran Tempo, dihentikan karena jarang disentuh oleh karyawan Selular Media Group (SMG).
Namun pada Senin (16/11/2015), saat membalik-balik halaman Kompas ada yang sedikit berbeda. Bukan pada berita namun karena iklan yang sangat menonjol. Pada halaman 32 rubrik Nama dan Peristiwa, terpampang iklan setengah halaman berwarna, yakni LA Bold, rokok besutan Djarum, produsen rokok nomor dua terbesar di Indonesia.
Bisa jadi banyak pembaca Kompas yang menyayangkan kemunculan iklan rokok LA Bold itu, termasuk saya. Pasalnya, selama ini setahu saya Kompas terkenal dengan credo mengharamkan rokok. Konsistensi Kompas dengan kebijakan tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun, sejak harian nasional ini pertama kali terbit pada 1965. Bagi produsen rokok, ini bisa disebut sebagai kemenangan, karena (koreksi bila saya salah) bisa jadi hanya Kompas satu-satunya koran yang selama ini sulit ditembus.
Meski menyayangkan, tapi tetap saja saya sangat memahami keputusan manajemen Kompas, Â khususnya divisi pemasaran untuk pada akhirnya menerima tawaran iklan rokok LA Bold itu. Memang bagi penggiat anti rokok, hal ini tentu tidak popular. Tapi sebagai sesama pebisnis media, saya dapat memahami posisi CEO Kompas Agung Adiprasetyo. Ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Sebab masa depan media cetak saat ini semakin tidak menentu. Booming smartphone membuat geng media cetak (koran, tabloid, majalah) kehilangan pembaca yang ramai-ramai migrasi ke media digital.
Situasi bertambah rumit karena, jumlah pengiklan terus menyusut yang mengancam kelangsungan industri ini. Padahal, iklan merupakan sumber pendapatan utama bagi media. Bahkan di Kompas sendiri, jika kita perhatikan, jumlah iklan tak yang tayang tak lagi sebanyak dulu. Namun berapa persisnya angka penurunan, hanya manajemen Kompas sendiri yang tahu.
Memang sejak masuknya teknologi 3G pada 2006, nasib media cetak mulai berada persimpangan. Kekhawatiran itu mulai memuncak karena dalam lima tahun terakhir, media cetak terus berguguran laksana pohon diterpa angin puyuh. Contoh, di segmen telekomunikasi, seperti yang sudah pernah saya ulas dalam artikel sebelumnya, Selular kini menjadi satu-satunya majalah yang tersisa. Empat kompetitor lainnya, yakni T&T, Telset, Digicom dan Forsel, sudah tamat.
Fenomena media cetak yang gulung tikar dipastikan akan semakin banyak terjadi, karena kondisi ekonomi yang melesu. Dengan proyeksi pertumbuhan hanya 4% sementara inflasi bertengger pada angka 8%-11%, maka tahun ini perekonomian Indonesia sungguh-sungguh kedodoran. Hampir semua sektor bisnis kelimpungan. Pemicu utama adalah kenaikan harga bahan pokok makanan yang naik beberapa kali, kenaikan BBM, kenaikan biaya utility seperti listrik, PAM, dan gas LPG.
Semua itu terus membombardir konsumen dan pengusaha. Kondisi semakin diperparah dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang pernah hampir menyentuh level 15.000, membuat segala produk dan service semakin mahal dan tidak terjangkau kalangan bawah.
Catatan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) menunjukkan, shopper trend yang slow down dibuktikan dengan pertumbuhan volume penjualan biskuit, skin care, ice cream, sabun mandi, deterjen, coklat, yang sudah minus pada Februari dan Maret 2015. Begitu juga dengan kategori mobil dan motor yang minus hingga double digit di awal 2015. Jika mobil terpangkas 17% pada Januari-Februari 2015, maka motor lebih amburadul, yakni minus 19% pada periode yang sama.
Iklan Cetak Anjlok
Mudah ditebak, loyonya ekonomi langsung berdampak pada aktifitas pemasaran. Lazimnya saat permintaan turun, perusahaan akan memangkas biaya-biaya yang dianggap tidak perlu. Terutama biaya promosi dan penjualan, CSR, hingga public relation.
Faktanya, belanja iklan di Indonesia untuk semua media selama semester pertama 2015 sekitar Rp 57,1 triliun atau hanya tumbuh 4% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Berdasarkan hasil survey Nielsen Advertising Information Service yang dirilis Nielsen Indonesia dari total belanja tersebut, kue iklan paling banyak didapat oleh media televisi yakni sekitar Rp 41,03 triliun atau sebanyak 71,7%. Pertumbuhan ini hanya meningkat 9% dibandingkan dengan tahun lalu. Ini adalah rekor pertumbuhan terendah, karena pada tahun-tahun sebelumnya, belanja iklan mampu tumbuh 20%-30%.
TV memang masih primadona pengiklan, Namun jika ditinjau dari persentasenya, pertumbuhan belanja iklan di layar kaca menunjukkan juga tren perlambatan. Pada semester I-2012, iklan TV masih mampu bertumbuh 24% dan kembali bertumbuh 30% pada semester I-2013. Namun mulai 2014, pertumbuhannya melambat menjadi 17%.
Jika TV anjlok, mudah ditebak kue iklan yang didapat media cetak semakin melorot karena derasnya migrasi pembaca ke media digital. Nielsen mengungkapkan, pada tahun ini kue iklan cetak hanya sebesar Rp17,4 triliun atau merosot 8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tren penurunan ini mulai terlihat sejak 2012 dan berlanjut terus menerus hingga 2015. Tercatat pertumbuhannya pada tiap semester I adalah 14%, 13%, 5% dan kini minus 8%.
Dengan mengacu pada paparan Nielsen Indonesia itu, tak heran jika tsunami yang menghantam media cetak akan terus berlanjut. Media cetak kalah bersaing dengan media digital. Situasi ini mirip dengan bisnis telepon tetap yang pasarnya habis di makan ponsel. Atau seseorang yang bertempur melawan uban di kepala. Sebuah pertempuran yang tak akan pernah dimenangkan.Â
Migrasi pembaca saja sudah bikin pening pengelola media cetak, karena hal itu langsung berdampak pada turunnya penjualan tiras. Persoalan bertambah pelik, karena belanja iklan yang merupakan nyawa media cetak juga terus ambrol digerogoti media digital yang belakangan semakin diminati para pengiklan.
Merujuk pada laporan State of Mobile Advertising Q2 untuk Asia Pacific (APAC), Opera Mediaworks mengungkapkan Indonesia masuk dalam empat besar untuk mobile advertising. Indonesia mencatat peningkatan sebesar 545% dalam hal adopsi smartphone sejak 2013 dan ini merupakan pasar yang sangat seksi bagi pengiklan. Selain murah, iklan di smartphone lebih targeted, personalized dan interaktif.
Kembali ke Kompas, iklan rokok bagaimana pun masih menjadi polemik. Di dalam tubuh manajemen Kompas sendiri, pastinya sebagian menerima namun sebagian masih menolak. Namun, anjloknya pendapatan iklan membuat media seperti Kompas pun tak punya banyak pilihan, karena ini mungkin sudah menyangkut kelangsungan hidup. Demi alasan survive, bisa jadi, ke depan iklan rokok akan terus menghiasi Kompas dengan intensitas yang lebih banyak lagi.
Faktanya, nilai belanja iklan rokok adalah yang terbesar. Tengok saja belanja iklan yang digelontorkan HM Sampoerna. Berdasarkan riset Adstensity, hingga kuartal ketiga 2015, produsen rokok A Mild dan Dji Sam Soe itu, sudah mengucurkan dana tak kurang dari Rp 387,675 milliar. Disusul Pepsodent Rp 344,157 milliar, dan sirup Marjan Rp 236,224 milliar.
So, dengan kekuatan capital yang dimilikinya, belanja iklan rokok dipastikan akan terus menghiasi semua lini media., baik televisi, media luar ruang, media digital dan media cetak. Ditengah mandulnya UU dan peraturan, nyaris, tak ada media yang steril dengan kampanye rokok.
Sementara, bagi pengelola media cetak ini adalah pilihan yang sangat sulit. Namun dalam kasus ini, idealisme terpaksa dibuang jauh-jauh demi bisa memutar roda bisnis. Bahkan Kompas pun bertekuk lutut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H