Faktanya, belanja iklan di Indonesia untuk semua media selama semester pertama 2015 sekitar Rp 57,1 triliun atau hanya tumbuh 4% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Berdasarkan hasil survey Nielsen Advertising Information Service yang dirilis Nielsen Indonesia dari total belanja tersebut, kue iklan paling banyak didapat oleh media televisi yakni sekitar Rp 41,03 triliun atau sebanyak 71,7%. Pertumbuhan ini hanya meningkat 9% dibandingkan dengan tahun lalu. Ini adalah rekor pertumbuhan terendah, karena pada tahun-tahun sebelumnya, belanja iklan mampu tumbuh 20%-30%.
TV memang masih primadona pengiklan, Namun jika ditinjau dari persentasenya, pertumbuhan belanja iklan di layar kaca menunjukkan juga tren perlambatan. Pada semester I-2012, iklan TV masih mampu bertumbuh 24% dan kembali bertumbuh 30% pada semester I-2013. Namun mulai 2014, pertumbuhannya melambat menjadi 17%.
Jika TV anjlok, mudah ditebak kue iklan yang didapat media cetak semakin melorot karena derasnya migrasi pembaca ke media digital. Nielsen mengungkapkan, pada tahun ini kue iklan cetak hanya sebesar Rp17,4 triliun atau merosot 8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Tren penurunan ini mulai terlihat sejak 2012 dan berlanjut terus menerus hingga 2015. Tercatat pertumbuhannya pada tiap semester I adalah 14%, 13%, 5% dan kini minus 8%.
Dengan mengacu pada paparan Nielsen Indonesia itu, tak heran jika tsunami yang menghantam media cetak akan terus berlanjut. Media cetak kalah bersaing dengan media digital. Situasi ini mirip dengan bisnis telepon tetap yang pasarnya habis di makan ponsel. Atau seseorang yang bertempur melawan uban di kepala. Sebuah pertempuran yang tak akan pernah dimenangkan.Â
Migrasi pembaca saja sudah bikin pening pengelola media cetak, karena hal itu langsung berdampak pada turunnya penjualan tiras. Persoalan bertambah pelik, karena belanja iklan yang merupakan nyawa media cetak juga terus ambrol digerogoti media digital yang belakangan semakin diminati para pengiklan.
Merujuk pada laporan State of Mobile Advertising Q2 untuk Asia Pacific (APAC), Opera Mediaworks mengungkapkan Indonesia masuk dalam empat besar untuk mobile advertising. Indonesia mencatat peningkatan sebesar 545% dalam hal adopsi smartphone sejak 2013 dan ini merupakan pasar yang sangat seksi bagi pengiklan. Selain murah, iklan di smartphone lebih targeted, personalized dan interaktif.
Kembali ke Kompas, iklan rokok bagaimana pun masih menjadi polemik. Di dalam tubuh manajemen Kompas sendiri, pastinya sebagian menerima namun sebagian masih menolak. Namun, anjloknya pendapatan iklan membuat media seperti Kompas pun tak punya banyak pilihan, karena ini mungkin sudah menyangkut kelangsungan hidup. Demi alasan survive, bisa jadi, ke depan iklan rokok akan terus menghiasi Kompas dengan intensitas yang lebih banyak lagi.
Faktanya, nilai belanja iklan rokok adalah yang terbesar. Tengok saja belanja iklan yang digelontorkan HM Sampoerna. Berdasarkan riset Adstensity, hingga kuartal ketiga 2015, produsen rokok A Mild dan Dji Sam Soe itu, sudah mengucurkan dana tak kurang dari Rp 387,675 milliar. Disusul Pepsodent Rp 344,157 milliar, dan sirup Marjan Rp 236,224 milliar.
So, dengan kekuatan capital yang dimilikinya, belanja iklan rokok dipastikan akan terus menghiasi semua lini media., baik televisi, media luar ruang, media digital dan media cetak. Ditengah mandulnya UU dan peraturan, nyaris, tak ada media yang steril dengan kampanye rokok.
Sementara, bagi pengelola media cetak ini adalah pilihan yang sangat sulit. Namun dalam kasus ini, idealisme terpaksa dibuang jauh-jauh demi bisa memutar roda bisnis. Bahkan Kompas pun bertekuk lutut.