Maluku atau yang oleh masyarakat adat setempat biasanya disebut Maluku Kie Raha adalah hamparan gugus kepulauan yang terletak di timur Indonesia. Kepulauan ini bisa dibilang menjadi salah satu magnet utama dilakukannya ekspedisi terbesar pertama kali sepanjang sejarah umat manusia. Setelah Ilmuwan terkenal Galileo Galilei mengemukakan teori bahwa Bumi itu bulat yang menyempurnakan teori Nicolaus Copernicus, maka penjelajahan besar – besaran oleh bangsa Eropa untuk mencari “New World”sekaligus “a Spice Island” dilakukan.
Keberadaan Maluku sudah diketahui dan dikunjungi oleh para pedagang Arab dan Cina jauh sebelum bangsa Eropa datang. Pedagang Arab adalah salah satu rombongan pertama yang datang ke Maluku. Kehadiran Pedagang arab sudah terlacak sejak masa pemerintahan Kolano (Raja) Sida Arif Malamo (1322-1331), pedagang dari Jawa, Malaka, Makassar, Gujarat, dan Cina menyusul kemudian untuk memburu cengkeh dan pala (M. Sofyan Daud, Ternate Mozaik Kota Pusaka).
Selama berabad – abad saudagar Arab dan Cina yang merupakan pedagang besar di Maluku saat itu merahasiakan Maluku dari Eropa. Kejatuhan Konstatinopel, pelabuhan dagang terbesar di belahan barat pada 29 Mei 1453 ke tangan Kesultanan Utsmani akhirnya memaksa para pedagang Eropa harus mencari jalan lain untuk berdagang, satu-satunya cara adalah mencari pusat penghasil rempah – rempah yang sangat populer di pasaran Eropa saat itu. Setelah kegagalan Christopher Columbus menemukan Maluku yang lantas menemukan benua Amerika, Portugis menjadi Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku. Sejak saat itu mulailah berdatangan bangsa – bangsa kulit putih tersebut membanjiri kepulauan ini.
Setiap peradaban pasti mempunyai kebudayaan yang berkembang di dalamnya, kebudayaan itu sendiri berkembang dan terbentuk oleh unsur – unsur lokal sebagai bagian dari proses adaptasi. Menurut Rafael Raga Maran, Kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginan – keinginan serta tujuan hidupnya, yang dilihat sebagai proses humanisasi. Salah satu aspek dari kebudayaan adalah karakteristik makanan lokal (tradisional), sama halnya dengan Maluku Kie Raha yang sudah memulai peradaban sejak abad ke 13 Masehi.
Melimpahnya rempah – rempah (cengkeh dan pala) di kepulauan ini ternyata tidak serta merta mempengaruhi karateristik kuliner setempat, artinya cengkeh dan pala tidak terlalu digunakan sebagai bahan masakan masyarakat Maluku. Hal ini bisa terlihat pada sajian makanan sehari – hari masyarakat Maluku Kie Raha, khususnya Ternate. Padahal sebagai daerah kepulauan, konsumsi ikan dan hasil laut lainnya sebagai bahan utama sajian makanan sehari – hari tercatat cukup tinggi. Namun sebagai daerah penghasil rempah – rempah, sangat jarang kita temukan penggunaan bahan dasar rempah – rempah khususnya cengkeh dan pala dalam makanan sehari-hari masyarakat. Hal ini sangat kontras mengingat Bangsa Portugis sampai memberi julukan kepulauan ini sebagai Ilhas de Crafo (Kepulauan Remph – Rempah) karena berlimpahnya hasil rempah terutama cengkeh dan pala di daerah ini.
Dalam catatan petualang besar Inggris, Francis Drake saat dijamu Sultan Babullah pada 1579, terdapat keterangan “Setelah usai berunding, dihidangkan makanan dari sagu, nasi dengan lauk dari kambing, ikan bubara bakar, kepiting kenari, dan ayam yang dimasak dengan ramuan cengkih” (Buku Kepulauan Rempah-Rempah). Dari keterangan Drake menunjukkan bahwa penggunaan rempah-rempah terlihat sangat minim. Cengkeh sendiri hanya digunakan pada satu diantara beberapa jenis makanan, bahkan pala tidak masuk komposisi sama sekali. Penggunaan rempah-rempah ini pun diperkirakan hanya terbatas pada makanan-makanan khusus untuk sajian di Kedaton (Istana) atau untuk acara-acara tertentu.
Minimnya penggunaan rempah – rempah pada komposisi masakan masyarakat Maluku Kie Raha justru sangat kontras dengan budaya kuliner masyarakat Aceh. Jika kita pernah menyantap makanan khas Aceh seperti Mie Aceh, Nasi Briani, Kari Kambing dll, kita sudah bisa menebak keberadaan beragam rempah – rempah termasuk cengkeh dan pala lewat aroma dari masakan yang disajikan. Aroma yang menunjukkan kekayaan rempah dalam setiap makanan khas masyarakat aceh.
Padahal seperti yang diketahui, Aceh hanya merupakan penghasil Lada di masa lalu. Disinyalir budaya “royal bumbu” masyarakat Aceh dalam setiap masakannya merupakan pertemuan budaya multi bangsa di masa lampau. Aceh pada masa lampau terkenal merupakan Pelabuhan Dagang Internasional mengekor kepopuleran Malaka. Menurut Pakar Kuliner William Wongso, “Lamanya waktu berlabuh membuat para pelaut asing merindukan masakan rumah mereka, maka mereka membawa cara masak mereka ke sana”.
Jika kita bandingkan karakteristik daerah antara Aceh dan Ternate pada masa lampau, bisa terlihat ada kemiripan baik karakter sosiologi masyarakat, ekonomi, politik, agama, bahkan budaya. Ternate dan Aceh sama – sama merupakan sebuah kota pelabuhan yang sangat ramai dan populer pada masanya.
Interaksi yang sangat intens antara masyarakat lokal dengan pedagang dari seluruh dunia di Ternate juga dialami oleh masyarakat Aceh, karena kedua wilayah merupakan bagian dari Silk Road (Jalur Sutera). Tentu hal ini membentuk karakter masyarakat yang memilki kemiripan diantara kedua daerah tersebut.
Berdasarkan fakta – fakta sejarah diatas, rasanya sudah cukup menguatkan kita untuk bertanya – tanya, kenapa daerah yang merupakan penghasil cengkeh dan pala premium sangat jarang bahkan tidak pernah menggunakan rempah – rempah tersebut di dalam masakan khasnya? Padahal pada Cengkeh dan Pala merupakan bumbu mewah pada masa itu. Bukankah budaya fashion, arsitektural, dan budaya berperilaku masyarakat Maluku Kie Raha sangat terpengaruh berbagai macam budaya yang hilir mudik pada masa itu?
Pertanyaan besarnya adalah, adakah Jejak Cengkeh dan Pala pada Kuliner khas Maluku Kie Raha? Semoga ada ahli sejarah yang berkenan untuk memberi penjelasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H