Mohon tunggu...
Ucok Mandarin
Ucok Mandarin Mohon Tunggu... pensiun -

bekas polisi yang ingin membersihkan lembaga kepolisian dari kemungkaran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia Atheis Adalah Manusia yang Tidak Berakal

28 Oktober 2010   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia sebagai makhluk yang berakal sudah semestinya dapat menggunakan akalnya dengan optimal. Penggunaan akal ini sebagai perwujudan dari makhluk hidup yang sedang melangsungkan aktivitas hidupnya di dunia ini. Manusia yang tidak menggunakan akal tidak akan berguna hidupnya di dunia ini, misalnya menjadi orang gila. Sementara itu, akal berfungsi sebagai pembeda antara baik dan buruk sesuai dengan seleranya masing-masing. Adapun yang dimaksud dengan selera disini adalah referensi atau titik acuan yang digunakan sebagai landasan berfikir seseorang. Oleh karenanya masing-masing manusia mempunyai landasan berfikir yang berbeda-beda.

Apabila manusia sudah mempunyai kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk berarti manusia tersebut sudah memanfaatkan fungsi akal secara optimal. Optimalisasi akal ini bermanfaat untuk mengenali keberadaan akalnya sendiri sehingga akan timbul pertanyaan, siapa yang memberikan akalnya itu, yang dilanjutkan dengan pertanyaan siapa yang menciptakan dirinya itu? Tentunya dengan fungsi akal yang sudah optimum tersebut, dia akan mencari jawaban dan akan menemukan jawabannya dengan baik. Akhirnya sampailah ke tujuan dari keberadaan akal dalam diri manusia, yakni dapat berfikir untuk menemukan hakikat tentang penciptaan manusia sehingga akan terwujudlah pengenalan akan keberadaan Tuhan sebagai Sang Pencipta manusia.

Atheisme yang mengajarkan tentang ketiadaan Tuhan sebagai pencipta manusia dan dunia seisinya merupakan ajaran yang tidak menggunakan fungsi akal dengan baik. Akal tidak dipacu untuk berfikir yang lebih dalam, tapi hanya dipakai untuk berfikir yang dangkal, padahal akal manusia itu sungguh luar biasa hebatnya, mampu untuk mengendalikan diri manusia sehingga dapat menguasai dunia. Begitu akan berfikir lebih dalam lagi, segera dihentikan oleh kemauan akal itu sendiri sehingga tidak sampailah untuk berfikir tentang penciptaan manusia dan dunia seisinya. Lihatlah perilaku para nabi terdahulu yang mencari tuhannya dengan berfikir dalam dan serius. Dengan rasa penasaran yang timbul berarti dia sudah mencoba untuk mengoptimalkan fungsi akal dengan baik, sehingga sampai pada satu kesimpulan bahwa keberadaan dirinya di dunia ini adalah karena adanya suatu kekuasaan yang maha dahsyat. Itulah penemuan Tuhan sebagai pencipta manusia.

Manusia atheis atau tidak percaya Tuhan telah melemahkan fungsi akalnya sendiri untuk berfikir dengan baik. Dengan berbagai argumen yang seolah-olah ilmiah, dia menutup dirinya untuk mengakui keberadaan Tuhan. Padahal secara hakikatnya jika ditanya lebih dalam, dia akan mengakui keberadaan Tuhan dari lubuk hati yang terdalam. Namun pengakuan ini ditutup-tutupi dengan keegoisan dia yang dilandasi dengan nafsu syahwat yang dibantu oleh sang penggoda dunia, syaithon.

Manusia atheis tidak akan bisa berfikir lebih dalam tentang hakikat kematian. Apabila dia ditanya tentang konsep kematian maka jawabannya sudah pasti ngawur dengan dibalut segudang argumen yang pseudo-ilmiah. Pikirannya akan mentok dan sudah tidak bisa mengalir lagi. Akibatnya, akal yang ada di dalam diri manusia atheis tidak akan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, karena landasan berfikirnya sudah rusak. Kalaupun pilihannya itu adalah baik, namun tergolong pilihan yang pseudo alias semuanya palsu belaka.

Konsep berfikir tentang kematian akan mirip dengan konsep berfikir tentang Tuhan, karena kedua hal tersebut saling terkait dan merupakan area di luar kemampuan fisik manusia. Inilah yang dinamakan ghaib. Sedikit sekali manusia berpengetahuan yang ghaib. Berawal dari landasan berfikir keberadaan Tuhan, maka selanjutnya untuk menentukan konsep kematian akan lebih mudah memahaminya dengan adanya “ada” dan “tiada”. Dari manusia yang “ada” dan terlahir di dunia, maka konsekwensinya manusia pasti akan “tiada” dan menghilang dari dunia.

Namun sayang, manusia atheis tidak merasakan kegunaannya di dunia karena dia di ujung hidupnya akan menghilang begitu saja dari dunia, entah kemana perginya. Sia-sia belaka karena tidak memfungsikan akalnya dengan optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun