Mohon tunggu...
Ucique Klara
Ucique Klara Mohon Tunggu... karyawan swasta -

dari Manggarai-Flores. suka membaca tulisan-tulisan di kompasiana meski jarang menulis :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasi Jagung

11 Agustus 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Senang sekali hari ini cerah ceria. Udara terasa hangat dan cucian bisa kering. Setidaknya hari ini tidak harus ke luar dan pakai jaket, kostum yang dikenakan bisa sedikit bergaya dengan model dan warna yang bervariasi. Ojekers bisa mendulang rupiah lebih, setidaknya menutupi kerugian tak ojek selama dua hari hujan terus menerus turun..


Siang hari seperti ini enaknya makan apa ya? Terbayang beberapa pilihan yang bisa menerbitkan air liur. Jadilah, menu kami hari ini adalah lomak, ikan merah bumbu..daaannnn nasi jagung, tak lupa nggurus agu tomat! Isi piring makan jadinya berwarna warni. Setelah makan siang nenas dan pisang-oleh-oleh dari kampung masih dipaksakan memenuhi ruang lambung yang sebenarnya sudah penuh.


Kebetulan sekali ada dua orang Om (Om Frans dan Om Kos) juga sedang berkunjung ke rumah, kami pun makan bersama. Makan siang yang menyenangkan, selain karena lapar tapi juga banyak percakapan yang lucu dan menarik.


Mama tak henti-hentinya minta maaf kepada para Om karena harus ikut menyantap nasi jagung. Sebenarnya mereka tak mempersoalkan hal itu, permintaan maaf semacam itu hanya untuk kesopanan saja. Kami sih cuek-cuek saja, karena makan nasi jagung bukan lantaran tak punya beras tapi memang mama rindu untuk makan nasi jagung. Sebenarnya paling enak kalau jagungnya masih muda dan dicampur jenis beras roseline. Dijamin makan tak bersisa.


Ka pompi menyebutnya nasi Vatikan karena warnanya jadi putih kuning seperti bendera Vatikan. Dan mulailah obrolan seputar nasi jagung sebagai makanan wajib waktu masih di Seminari dulu. Berbagai kisah menarik lainnya yang juga sudah dibumbui oleh narator membuat kami terbahak-bahak. Tidak tau juga apakah benar yang terjadi demikian; namun di mana-mana banyak sebenarnya orang yang tak suka nasi jagung. Entah karena lidahnya tak cocok atau mungkin karena gengsi, nasi jagung memang sepertinya makanan kelas sangat ekonomi sekali.


Siapapun tak bisa dipaksakan seleranya. Namun syukurlah, keluarga kami tak banyak komplain kalau soal makanan dan tak pernah gengsi kalau menu yang ada sangat sederhana. Namun kadang kalau lama tak makan enak, lelucon sindiran sering beredar.


Ternyata cerita ka Pompy seputar nasi jagung di era Seminaris membuat salah satu Om akhirnya bercerita saat manggarai tertimpa kelaparan tahun 60-an. “latung ce nggo’o nganceng bagi lima le ende” sambil menngepalkan tangannya dia mengandaikan sebuah jagung dengan ukuran tongkol jagung sekepal dan panjang kira-kira 25 cm.


Kami mendengarkan sambil terus makan.


“Kalu kami dulu tu, bagi bulir jagung segenggam tiap orang, jagungnya keras lagi”, tambah Om dua dengan bahasa Indonesia berdialek manggarai.


“tapi tidak goreng, apalagi pake minyak...minyak dari mana? Arang yang masih merah diratakan pada perapian dan bulir jagung disebar di antara arang. Kalo su bunyi langsung angkat pake penjepit kecil dan dimakan”.


Mendengar itu saya kontan ketawa, bukannya karena mau menghina, cuma bayangkan...kalo bakar jagung yang sudah dilepas dari tongkolnya, harus cekatan dan tangkas.. bisa-bisa salah makan arang lagi.. tapi ternyata semua yang mendengar itu senyam senyum juga mungkin membayangkan hal yang sama, tapi bedanya saya tak bisa mengontrol ketawa hahahahahaha


“Kan bisa dibuat rebok..”, Roni bingung kenapa susah-susah hanya untuk membakar jagung.


Rebok hanya kut ata tu’a agu toe manga ngis, eme uwa kin hang ket latung cirang”, jawab Om tanpa ada penjelasan tambahan.


Saya menyimpulkan bahwa rebok termasuk mewah karena prosesnya cukup lama dan tak bisa diolah jika jagungnya terlampau sedikit.


“Tapi memang, nu..du darem danong stengah mati kawe dea. Ami pernah danong du koe eme darem hang ket pau


Cala manga uma pe..”


“Ruteng waktu itu masih hutan, tanaman di kebun kadang dirusak hama. Kalau malam jaga kebun supaya tidak dimakan oleh motang dan menjaga kode agar tidak mencuri isi kebun di siang hari”, mama menambahkan.


Dalam hari saya pikir: monyet juga dmakan jagung? Bukankah sering dikisahkan (dan memang nyatanya) monyet doyan pisang?


Tapi tak kuutarakan hal itu...obrolan pun terus berlanjut berkisar tentang angin badai musim kelaparan yang pernah terjadi di Manggarai. Om Frans dan  Om Kos bercerita dan saling menambahkan; bahkan mama ikut meralat kalau ada 5W 1H yang kurang jelas dari Om Frans.


Lama kelamaan tidak ada tawa lagi, sepertinya suasananya sediiiih sekali. Mungkin karena cerita yang berawal dari kisah nasi jagung mulai merembeh ke kenangan-kenangan di jaman tidak enak dalam segala bidang yang dialami angkatan para Om dan Mama. Untunglah acara makan siang selesai, dan kami bisa beranjak dari meja makan. Trio masih terus melanjutkan perjalanan ke masa lalu..saat beras adalah barang langka pun mewah. Sayup-sayup terdengar suara Om Frans: “bo ro’eng jaman ho’o ga..oke ket lise hang. Toe baen lise darem haer danong..”


Kami anak-anak hanya senyam senyum. De nde.. delek da’at mose abad 21 ho’o gah.. hanya simpung ajol toe di cek Facebook leso ho’o..


hahahahahahahahaha


Catatan  beberapa kata dan kalimat bahasa manggarai :

  1. Lomak = urap/lawar

  2. nggurus agu tomat = cabe dan tomat

  3. latung ce nggo’o nganceng bagi lima le ende = jagung segini bisa dibagi jadi lima oleh ibu

  4. rebok = makanan khas manggarai biasanya dibuat dari jagung yang disangrai kemudian ditumbuk halus. Kadang jagung direndam dahulu, dijadikan tepung baru dicampur kelapa, gula merah kemudian disangrai. Variasi komposisi bahan rebok sesuai selera, kalau tak suka tepung jagung bisa pakai tepung beras (beras direndam beberapa lama, kemudian digiling bersama kunyik supaya warnanya kekuningan) yang dicampur kelapa parut dan gula merah.

  5. Rebok hanya kut ata tu’a agu toe manga ngis, eme uwa kin hang ket latung cirang = rebok hanya untuk orang tua yang tidak punya gigi, kalau masih muda makan saja jagung yang keras.

  6. nu..du darem danong stengah mati kawe dea. Ami pernah danong du koe eme darem hang ket pau = nona..waktu musim lapar dulu susah sekali mencari beras. Waktu masih kecil saat musim lapar kami pernah hanya makan mangga saja.

  7. Cala manga uma pe = kan ada kebun.

  8. Motang = babi hutan

  9. Kode = kera

  10. bo ro’eng jaman ho’o ga..oke ket lise hang. Toe baen lise darem haer danong = ya..kalo anak jaman sekarangsuka membuang nasi. Mereka tidak tahu masa kelaparan seperti dahulu

  11. De nde.. delek da’at mose abad 21 ho’o gah.. hanya simpung ajol toe di cek Facebook leso ho’o.. = syukurlah hidup di abad 21, hanya khawatir memikirkan apakah sudah cek facebook atau belum hari ini..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun