Kilatan air mata jelas tertangkap kendati malam sudah meluncur tua. Kilatan itu kemudian tumpah di pipi Ibu Awang (53), menjadi air mata pelepas kesedihannya yang mendalam. Duduk sendiri di teras rumah tetangganya, ia merenungi nasib. "Semua perabot ibu simpen di para. Sangkain nggak akan tinggi banjirnya, paling sepinggang. Eh, air sampe ke atap rumah. Rumah nggak keliatan. Habis semua sekarang," ujarnya lirih.
Kendati malam merayap cepat, pukul 20.30, Â dia enggan masuk ke rumahnya. Rumahnya tak layak disebut rumah. Hanya bedeng papan kumuh, terjepit di antara dua tembok rumah tetangganya. Dalam tanah yang menjorok, menurun.Â
Gelap gulita. Sementara lampu rumah tetangga-tetangganya sudah benderang. "Bok (kotak) Â listriknya rusak, belum bisa dinyalain. Suami di dalem udah tidur Anak anak ada tiga. Udah "kabur" (menikah dan pergi)," katanya.
Tangannya memegang erat sebungkus nasi pembagian tetangganya, Auliana. Ia menolak dua bungkus. Menurutnya suaminya sudah makan. "Yang penting sekarang perut bisa kenyang. Asal nasi dulu. Kalau nanti ada sumbangan lain, ya diterima. Apa juga saya terima. Saya udah nggak punya apa-apa," katanya.
Setidaknya perutnya sudah normal lagi. Tidak kelaparan seperti hari pertama banjir. Dia mengungsi di jalanan. Rumahnya berada di wilayah lembah. Jalan buntu. Menurut ketua RT setempat, tadinya lokasi itu adalah kebun. Lalu menjadi tempat pemukiman warga, berdempet-dempet, kumuh.
Kawasan itu beruntung, memiliki seorang perempuan mulia bernama Auliana Linata Rahmawati. Perempuan cantik berumur 41 tahun ini bergerak cepat.Â
Sejak hari pertama banjir tanggal 1 Januari 2020, ia jadikan rumahnya sebagai dapur umum. Bersama 6 ibu rumah tangga lainnya dan dua orang pria tetangganya, Aulina  memasak untuk korban banjir di kawasan Pagujaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Menyiapkan nasi, dua jenis lauk pauk, dan segelas air mineral dalam bungkusan plastik.
"Hari pertama dan kedua cuma 250 bungkus. Tapi bagian bawah (rumah warga yang yang terletak di lokasi lebih bawah dan buntu, kawasan rumah ibu Awang ) nggak kebagian. Hari ini bikin 600 bungkus," ujarnya kemarin, 3 Januari 2020 di sela-sela kesibukan di rumahnya.
Rumah Lia atau Uli, demikian dia biasa dipanggil, masuk gang. Â Teras sempitnya dipakai memasak. Ia bukan orang berkelimpahan harta.Â
"Kalau mau bantu ya langsung bantu aja, nggak usah banyak yang dipikirin," katanya. Â Dia sudah terbiasa melakukan ini. Sejak tujuh tahun lalu, bersama tim tetangganya dia sudah terbiasa melakukan kegiatan "Jumat Sedekah,". Memberikan makanan ke panti asuhan, kaum duafa di lingkungan sekitar.
"Dananya dari keluarga, dan teman teman," katanya. Lia juga turun ke jalan. Kendati terlihat amat lelah sehabis seharian masak, dia mengikuti gerobak yang didorong pak Rosid (49), memastikan pembagian sampai pada mereka yang benar-benar membutuhkan. Naik turun jalanan sempit.Â
Lihat Humaniora Selengkapnya