Sebaliknya  rombongan Pemangku, selain berumur  60 tahun ke atas, hanya hitungan sebelah jari yang  berusia kepala 5, perjalanan ditempuh tanpa menginap. Membuat trek ini tergolong berat. Semua "menghemat lutut dan nafas" , menempuh perjalanan dengan menyesuaikan kapasitas kesehatan masing-masing.
"Dari alat monitoring heart beat saya, tercatat maksimal 108 beat per menit, masih di bawah target heart-beat yang saya capai dalam setiap latihan, yaitu maksimal  130. Saya tidak terlalu ngoyo untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Wahjudi Jude. Kendati demikian, Wahjudi salah satu peserta tercepat menyelesaikan treking.
Dari 53 peserta,  hanya 6 orang yang memutuskan tidak menyelesaikan perjalanan secara keseluruhan. Ke enam orang tersebut menunggu di pos berbeda. Setelah beristirahat secukupnya, mereka kembali turun, menunggu di desa Ciboleger.Masih ada stamina yang harus dijaga untuk tubuh, kembali diguncang  mobil elf ke arah Stasiun Rangkas Bitung untuk makan malam, sebelum pulang ke kota. Â
Dengan uang iuran 150 ribu rupiah itu, sudah diperoleh tiga kali makan, sewa tongkat, tiket masuk, suvenir berupa petai dan untuk membayar guide. Uang yang tersisa dibagikan kembali ke peserta masing-masing lima ribu rupiah, alias cashback.
Treking ini pun merupakan simbiosa mutualisme. Orang kota menumpang menghirup oksigen bersih di sana. Remaja  Baduy mengulurkan bahu  untuk jasa mengangkut ransel. Ransel memang bertambah berat. Gula aren alami sungguh menggoda untuk dibawa pulang. Ada pula madu hutan. Kain tenun. Sebuah treking yang layak direkomendasikan bagi siapapun.  Curilah ilmu dari Suku Baduy, agar selalu bersyukur dan bahagia. (Uci Anwar)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Trip Selengkapnya