Macam macam yang dijual para perempuan tangguh ini. Kebanyakan hasil kebun. Tetapi ada juga yang berdagang masakan jadi, khas daerah mereka yakni nasi merah, lauk ikan asin, sambel, bihun dan sebagainya. "Aya bandar na  (Ada bandarnya)" kata Uriah, tentang pasokan bahan bahan dagangan berupa masakan tersebut.
Melihat besar keranjang dan betapa tampak ringkih dan kecilnya perempuan ini, saya menatap ragu. Dia tertawa dan menjelaskan, ada cara untuk mengangkut dua keranjang besar isi dagangan tersebut.Â
Di stasiun Palmerah, seorang potter tak resmi bisa disewa tenaganya sebesar 10 ribu rupiah hingga pinggir jalan. Â Di pinggir jalan menuju pasar, sudah ada lagi gerobak yang menyambutnya, lagi dengan upah 10 ribu rupiah juga.
"Katutup, da bati na sapoe tiasa 200 rebu. (Ketutup, karena untungnya sehari bisa 200 ribu)," ungkapnya. Â Dari "Bati" itulah dia berhasil menyekolahkan ke empat anaknya. Anak pertama telah lulus SMK, anak kedua kelas 2 SMK, anak ketiga kelas 3 SMP dan bungsu baru berumur 9 tahun, masih SD.
"Saya sudah jualan seumur anak bungsu, udah 9 tahun," jelasnya. Â Fasilitas transportasi telah membuka kran eknomi bagi penduduk setempat.Â
Dengan moda transportasi yang murah ini, sekali jalan ke Stasiun Palmerah hanya 6 ribu rupiah, dia melihat peluang memperbaiki ekonomi keluarganya.Â
Semula suaminya buruh sawah dan kebun. Lalu melihat peluang berdagang di kota besar, dia memutuskan mencarikan barang barang dagangan untuk istrinya.Â
Berbagai macam jenis pisang ia kepul dari petani, seperti pisang kepok, pisang tanduk , pisang ambon dan sebagainya. Sedangkan tape singkong dibeli dari seorang bandar.
Menurut Uriah, dia hanya berdagang kecil kecilan. "Yang lebih banyak bawa barang dagangan mah dari Rangkasbitung. Malah ada yang pake mobil, biar bisa lebih banyak," ungkapnya. Â Dan mereka itu pun para perempuan.Â
Dari Kampung Uriah, ia mencatat ada 6 orang yang berdagang seperti dirinya, belum dari kampung- kampung lainnya. Lagi lagi, semua berjenis kelamin perempuan.