Mohon tunggu...
Ucha M. Sarna
Ucha M. Sarna Mohon Tunggu... -

Ucha M. Sarna, seorang penulis amatir. Aktif di teater sejak tahun 2001,....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

*Dedes dalam Perspektif Dramaturgi

4 November 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ucha M. Sarna

Membaca lakon “Dedes” karya Aan Sugiantomas, menggugah hasrat untuk menyandingkannya secara selintas dengan drama “Ken Arok dan Ken Dedes” karangan Muhammad Yamien di masa Pujangga Baru (1930-an).

Tanpa bermaksud membanding-bandingkan terlebih menyimpulkan mana yang sahih, memang keduanya berlatar belakang sama, yakni tentang kerajaan Singosari pada awal-mula (1222). Namun demikian tidak lantas dapat kita simpulkan bahwa ada kesamaan-kesamaan lain, baik secara struktur dramatiknya, pengemasan tematik, maupun sudut pandang kedua pengarang tersebut.

Dalam konteksnya sebagai seniman yang memiliki daya kreatif, eksplorasi gagasan yang dilakukan secara terus-menerus dan sifatnya terbarukan merupakan kemutlakan tersendiri dalam pencapaian keorisinilan karyanya. Rasanya, tidak ada seniman yang rela mengaktualkan dirinya sebagai plagiat ataupun epigon. Demikian pula dengan Aan—yang tidak bermaksud meniru ataupun menceritakan kembali tentang ranah itu.

Sebagai contohnya, jika “Ken Arok dan Ken Dedes” lebih mengangkat keepikan kedua tokoh sentralnya untuk rela mati di ujung keris Mpu Gandring demi mempersatukan kerajaan Jawa—yang kala itu mengalami konflik horisontal-vertikal. Sedangkan “Dedes” condong merelevansikan persoalan nurani feminisme—di mana pada titik tertentu membuncah menjadi bentuk lain perlawanan. Tokoh sentralnya adalah Dedes itu sendiri yang mengalami pergulatan batin; antara kepasrahan dan penolakan, antara kesetiaan dan hasrat perlawanan yang transenden.

Oleh karenanya, kita dapat menyederhanakan simpul, bahwa dari kedua drama tersebut terdapat dua pemikiran, dua gagasan yang bertolak pada peristiwa histori yang sama namun menjadikannya peristiwa ekspresifyang kentara perbedaannya.

Senyampang bentuk naskah, “Dedes” dapat dikategorikan ke dalam naskah pentas (sengaja dibuat untuk kepentingan pentas), sehingga bangunan plotnya sudah disusun sedemikian rupa. Plot “Dedes” adalah plot dinamis atau naik turun sehingga nyaris tanpa kejenuhan dalam setiap adegannya.

Yang menggelitik di sini adalah jenis dialognya yang sederhana dan kerap kali dibumbui kekonyolan-kekonyolan kekinian tapi masih dalam kerangka nyastra sehingga kandungan pesan dan bagaimana cara menyampaikannya tetap terjaga.

Selain tokoh-tokoh yang semestinya, seperti Tunggul Ametung, Arok, Dedes, Loh Gawe, dan Kebo Ijo, Aan memunculkan pula tokoh rekaannya, yakni, kedua Emban, Gocim, dan Nenek. Kehadiran mereka tidak serta-merta. Dalam wilayah penokohan mereka memiliki peran dan karakter masing-masing yang dapat menguatkan plot.

Kedua emban memperkuat status Dedes sebagai putri. Apa jadinya Dedes tanpa kedua embannya, dalam bingkai realis besar kemungkinan tokoh Dedes kurang begitu hidup.

Gocim, tangan kanan Arok, mempertajam kedudukan Arok sebagai pemimpin rampok yang cukup berpengaruh dan disegani. Sementara Nenek (dukun orok) adalah tokoh yang memegang peranan sebagai ‘benang merahnya’.

Kembali pada pokok bahasan “Dedes” tentang naluri feminis atau dalam skup yang lebih umum semacam persoalan kegenderan. Seperti yang kita mafhumi bersama, persoalan gender dari waktu ke waktu masih belum tertuntaskan. Baik pada tataran derajat maupun harkat kemanusiaannya. Dari faham patriarkat kokoh terusung hingga era demokrasi yang memberikan kebebasan (semu) terarah, perempuan tetap pada posisinya sebagai “second class”.

“Gejala second class terhadap perempuan merupakan problem esensial dan eksistensial yang kemudian memicu perdebatan meruncing di kalangan publik. Dikotomi perspektif di antara kedua kelompok yang berkepentingan semakin kentara. Masing-masing berpegang pada pendapatnya dengan tidak menyampingkan norma-norma atau aturan-aturan yang berlandaskan agama, tradisi, hukum, politik, ataupun aspek-aspek budaya lain sebagai jargon.”

Demikian “Dedes dalam bentuk lain, sudut pandang lain, kondisi dan situasi politik yang lain pula secara umum pada dasarnya adalah menyoal tentang hak perempuan yang ‘tertindas’ oleh kesewenangan patriarkat tersebut.

“Dalam DEDES bagaimana perempuan memiliki daya hidup pada zaman di mana patrilineal hadir sebagai sesuatu yang mutlak, tentunya keniscayaan lain. Sebab dalam ranah ini, keniscayaan perempuan merupakan keniscayaan yang tidak memiliki daya sama-sekali, takur dan merasa selalu dihinggapi persoalan defaitisme, terlebih untuk menyoal hak-haknya sebagai manusia semestinya, rasanya sangat muskil, karena laki-laki memiliki determinasi untuk segala-galanya.”

“Dedes” menyoal defaitisme nurani, menyoal ketidakberdayaan naluri di mana pada kulminasi dan kesempatan tertentu kelemahan itu justru berubah menjadi bentuk perlawanan lain dengan caranya sebagaimana perempuan.

“Dedes adalah perempuan yang secara lahir Nampak bertubuh lemah, dan sering dianggap oleh laki-laki sebagai terpedaya. Tapi isi hati adalah keliaran yang ternyata tidak mau tunduk pada keberadaan apakah dia perempuan atau bukan perempuan. Maka atas nama keliaran, Dedes berteriak; Terpedaya atau memperdaya menjadi sah-sah saja. Demikian Aan Sugiantomas mempertajam pesan dalam lakon itu.

Konsep Penyutradaraan;

Dari Isi Menjadi Berisi

Sebagaimana fungsi sutradara, selain sebagai penggerak, pengatur laku, inspirator, bahkan ada yang memposisikan dirinya sebagai guru atau suhu, sekaligus sebagai kreator dalam capaian estetik sebuah pertunjukan yang dapat dikatakan berhasil.

Untuk mempresentasikan gagasan, pemikiran dan interpretasi serta pencapaian tingkat keberhasilan tadi, adalah mutlak sang sutradara memiliki konsep. Konsep adalah rule, pondasi, dan atau konvensi pikiran yang musti dipahami bersama (karena teater adalah seni yang di dalamnya ada kerja tim) sebagai titian untuk mengarahkan apa yang hendak diaplikasikannya menjadi lebih terencana, terarah, dan terukur sesuai keinginan dan tujuannya. Jika sutradara itu masinis, maka konsep itu adalah relnya.

Konsep memiliki daya pengaruh terhadap mutu penyajian dan gaya pertunjukan. Konsep yang “baik” akan menghasilkan mutu pertunjukan yang baik pula. Baik dalam arti terpenuhinya sublimasi nilai-nilai estetik, artistik, dan yang paling utama bagaimana mengemas pesan yang terkandung dapat terkomunikasikan oleh audiens.Sebaliknya, konsep yang kurang baik (untuk tidak mengatakan buruk) akan menghasilkan pertunjukan yang ambyar, boyak dan banal. Singkat kata tidak menarik untuk dinikmati.

Dalam pertunjukan “Dedes” upaya untuk melakukan pendekatan ke wilayah estetik dan artistik sesuai dengan kaidah dan unsur-unsur dramatikalnya, adalah upaya pendekatan realis-impresionisme. Kendati di sela-sela adegan tertentu tertuang juga unsur “bermain-main dengan kode”. Namun hal itu tidak menggeser unsur esensinya, bahkan kehadirannya lebih merupakan kesatuan nalar yang memperkuat keajegan dan keseragaman asumsi audiens.

Dedes adalah lakon realis yang terbingkai dalam delapan bagian (babak). Ada banyak adegan, ada banyak ruang yang masing-masing memiliki kekuatan dramatik tersendiri. Sebut saja, seperti; keraton (yang terbagi atas ruang Dedes dan Tunggul Ametung bercengkrama, balairung, dan peraduan), suatu tempat yang oleh Tunggul Ametung disebut bawah sana, padepokan Mpu Gandring, tempat ketinggian, dan tempat lainnya yang diprotasiskan oleh pengarang untuk diinterpretasikan secara leluasa. Dan keseluruhannyasetidaknya terwujudkan dalam satu panggung.

Secara umum menggarap lakon realis merupakan tantangan dan kesulitan tersendiri bagi sutradara untuk mewujudkan kenyataan sesungguhnya ke atas pentas sebagai bentuk mimetik. Segala sesuatunya musti disuguhkan secara riil, detail dan wajar baik dari segi artistik maupun penokohan sehingga tidak membingungkan (memancing ketidaklogisan) apresian.

Kebebasan sutradara untuk memertal dan menginterpretasikan drama untuk memberikan warna dan aksentuasi lain adalah kebebasan otonom, sepanjang warna itu tidak bertentangan dengan pesan yang terkandung dalam naskah tersebut.

Demikian apabila kita membaca naskah “Dedes” dan menyaksikan pertunjukannya, ada warna lain yang coba dibangun sang sutradara untuk lebih berisi (penguat).Kenakalan-kenakalan kecil kerap dieksplorasikan baik dalam bentuk penambahan dialog (banyolan) maupun gesture para pemainnya yang mendekati karikatur dan satir.

Sindiran-sindiran yang relevan sengaja diaksentuasikan dengan merendengkan anomali sosial-politik beserta ‘kebiasaannya’ yang terjadi di Indonesia, seperti halnya, keotoriteran seorang pemimpin, persoalan korupsi, ketidakpekaan seorang ilmuwan, keberpihakan abdi negara terhadap penguasa, hingga ranah pendidikan yang kurang ‘cerdas’ dalam mengatasi persoalan sengaja tereksploitasi dalam bentuk kenakalan-kenakalan dialog yang menyegarkan sekaligus bertopik.

Sebagai catatan, kendati nyaris semua adegan dibumbui dengan ‘guyonan’ akan tetapi tidak merusak keajegan struktur dramanya. Sepertinya sang sutradara menyadari persoalan komposisi, sehingga tahu diri—kapan saatnya mengajak audiens tertawa, dan kapan saatnya kembali larut dalam tatanan cerita. Inilah drama, yang tidak melulu ngocol laiknya sang pelawak.

Dalam teater melibatkan banyak lokus yang satu sama lain saling melengkapi (integral). Teater tidak melulu menyoal tentang naskah dan sutradara, ada penokohandi dalamnya, penata cahaya, tata panggung, tata musik, dan lain-lain yang semuanya telah terkonsep sebelumnya.

Tata Artistik

“Pentas drama dapat di mana saja. Namun, asumsi umum, pentas selalu ada panggung (stage). Stage ini yang perlu ditata artistiknya. Stage yang alami dan imajinatif dapat digabung, untuk memunculkan fantasi.”

Pentas atau panggung (stage) merupakan media satu-kesatuan dari teater yang dijadikan sebagai arena mimetik peristiwa kehidupan yang sesungguhnya, serta arena di mana pemain mengeksplorasikan kebisaannya. Kesesuaian tata panggung dengan drama yang akan dipentaskan merupakan salah satu tuntutan yang menjembatani pencapaian artistik. Dibutuhkan kecermatan untuk menata panggung sehingga panggung bukan sekadar wilayah bermain, tapi bagaimana panggung tersebut memiliki ruh untuk membantu kefasihan artistik dan pemeranan.

“Dunia panggung akan menentukan keberhasilan penonton menikmati drama. Begitu pula pemain akan ditentukan oleh kualitas panggung.”

Teater “Dedes” menggunakan panggung proscenium untuk menyajikan permainannya. Selain panggung yang sesungguhnya, sang sutradara melalui tim artistiknya membuat tambahan stage. Maka tampaklah secara visual panggung di atas panggung.

Sebagai tuntutan naskah yang menghendaki beberapa tempat atau ruang, oleh sutradara, stage tambahan kemudian difungsikan dalam pembagian empat ruang, yakni di bagian kanan atas adalah peraduan Tunggul Ametung dengan tirai kelambu sebagai penanda pergantian tempatnya. Di tengah sebagai tempat ketinggian dan Balairung, sedangkan di kolong panggung adalah wilayah gerombolan Arok (entah hutan atau tempat di mana Ametung menyebutnya “bawah sana”).

Sementara di bagian bawah atau latar panggung difungsikan sebagai suatu tempat hilir mudiknya tokoh lain, yaitu Nenek, Emban, Mpu Gandring, Perampok, pembawa upeti, dan balairung bawah untuk para bangsawan pada saat rapat.

Selintas tampak begitu rumit. Tapi inilah teater. Demikian tuntutan naskah, dan tantangan bagi sutradara untuk mewujudkan itu semua tanpa tumpang-tindih. Dan tanpa bermaksud memihak bahwa pertunjukan “Dedes” dapat menyiasatinya.

Penyiasatan “Dedes” hadir karena dibantu oleh dekorasi panggung, kostum, tata cahaya, serta komposisi blocking yang pariatif (simetris, asimetris, keseimbangan dan penonjolan aktor di adegan-adegan tertentu) dengan menyesuaikan kebutuhanyang dirasa cukup mewakiliasumsi apresian.

Ada yang mengejutkan pada sisi dekorasi, yaitu pada peraduan Tunggul Ametung. Asumsi umum seperti sudah menjadi konvensi bahwa peraduan seorang raja kerap bernuansa mewah dan penuh dengan pernak-pernik atau blink-blink. Tapi untuk “Dedes” berbanding terbalik. Peraduan Ametung justru dibikinkan dalam bentuk ayunan dengan rangkaian tambang. Sementara tempat Mpu Gandring dipenuhi dengan batuan cadas yang menjulang.

Inilah salah satu alasan mengapa Konsep Penyutradaraan “Dedes” melakukan pendekatan realisisme-impresionisme karena keberadaan seting tersebut menjadikan warna tersendiri yang pada akhirnya mafhum diterima audiensnya.

Bukan hal yang harus jika dalam pertunjukan “Dedes” menguliti penataan cahaya maupun kostumnya. Karena kedua elemen tersebut sudah menyesuaikan dan menguatkan apa yang menjadi tuntutan sutradara. Standar pencahayaan cukup mewakili, bahwa suasana romantik atau adanya harapan lain itu musti biru, dan suasana bergejolak adalah warna merah. Begitupun dengan kostum, cukup tahu diri, bahwa pakaian yang dikenakan oleh prajurit tidaklah melampaui kemewahan pakaian yang dikenakan sang raja, begitu pun dengan tokoh lainnya.

Hanya saja sebagai catatan, bahwa ada keragaman maupun penonjolan daerah-daerah tertentu pada kostum, seperti misalnya pakaian yang dikenakan bangsawan yang serupa prajurit Kesultanan Kanoman itu holisme lain—sebagaimana tata musiknya yang juga menghadirkan beragam nuansa, beragam efek bunyi, dan beragam paduan antara musik tradisional dan modern, itu pun holisme lain.

Dari rangkaian musik, kostum, bahkan unsur dialog pun (sisipan logat Betawi, Sunda, dan Jawa) yang terkesan beragam, sepertinya sang sutradara ingin menegaskan bahwa inilah spirit Indonesia, bahwa objek pertunjukan dan pesannya diperuntuk untuk Indonesia dengan kelugasannya.

Penokohan

Pemain, memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam drama. Pemain sebagai raga, sedangkan ruhnya adalah karakteristik tokoh yang diperankannya. Kesadaran pemain berperan sebagai apa adalah sifat kontrol untuk menstabilkan imajinasinya secara wajar—tidak kurang juga tidak over dalam beracting, sebagaimana tukilan di bawah ini:

“Sangat beruntunglah aktor yang memiliki pesona panggung itu karena sudah terjamin bahwa ia akan bisa menawan perhatian penonton. Hal itu membantunya menyampaikan tujuan-tujuan kreatifnya kepada sejumlah besar penonton. Ia terbantu dalam mengembankan peran dan keseniannya. Tapi yang teramat penting adalah bahwa ia perlu menggunakan karunia yang berharga ini dengan seksama, arif, dan bersahaja. Sayang sekali kalau ia tidak menyadari ini dan terus mengeksploitasi hal itu, menyalahgunakan kemampuannya untuk ‘tebar pesona’.

Pemain dalam “Dedes” memiliki kemampuan stereotip—satu sama lain tidak ada yang menonjol, apalagi tergolong menawan. Akan tetapi, ada kecerdikan dan campur tangan sang sutradara dengan memanfaatkan pendekatan karakteristik dan atau memunculkan kelemahan itu sebagai bagian dari pertunjukan, memberi kesan perwatakansehingga terkesan wajar dan berkarakter. Setidaknya audiens tahu seperti apa tipikal Ametung, Arok, Dedes, Lohgawe, dan tokoh-tokoh lainnya secara pragmatik.

Secara keseluruhan (karena teater kerja kolektif) pada prinsipnya pertunjukan “Dedes” memiliki daya tarik tersendiri—mampu menghadirkan kerealisan yang wajar dan konyol serta kesan lain dari bentuk lain, yaitu nilai impresifnya itu sendiri. Salam.

Ucha M. Sarna, lahir di Indramayu 13 Oktober 1974. Aktif di teater semenjak terpilih sebagai Ketua Bengkel Seni Kampus Universitas Wiralodra, sekitar tahun 2001. Dalam perjalanannya, ia menulis naskah drama dan karya sastra lainnya. Beberapa karya dramanya pernah dipentaskan di Bandung, Yogyakarta, Cirebon dan Indramayu, seperti “Disa Pitaloka”, “Karung Idiologi”, “Bunga-bunga Soka”, dan “Tarling Jumiatin” (Kembang Alang-alang). Menyutradarai naskah-naskah adapatasi baik naskah Indonesia maupun naskah luar (Eropa). Sebagai Juara III Parade Monolog tingkat Jawa Barat.

Beberapa tulisannya termuat pada; KompasJabar, Seputar Indonesia, Pikirian Rakyat Edisi Cirebon, Kabar Cirebon, Tabloid Mulih Harja, kumpulan cerpen “Matahari Retak di Atas Cimanuk” (Dewan Kesenian Indramayu, 2010), kumpulan esai “Esai-esai Budaya dari Kota Mangga” (DKI, 2012), dll. Selain menulis ia juga menggandrungi game bergenre strategi, nyaris semua nick-nya memakai nama; Che Zelebour. Kini aktif di SitiHinggil Community. Selesai

*Dipentaskan oleh Teater Cahaya Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT Indonesia) pada tanggal 30 – 31 Oktober 2013 di Gedung Kesenian Jakarta

Meski demikian tingkat kejenuhan muncul disebabkan salah-satunya karena ketidakmampuan aktor dalam memainkan ritme dan tempo pertunjukan

Ucha M. Sarna, Perempuan dalam Metha Gynaika”, Kompas, edisi Sabtu 30 Januari 2010.

Semacam pengantar dalam pertunjukan DEDES, “Perempuan dan Sisi Lain Tentang Afalisme”, oleh Drs. Desri Arwen, M.Pd

Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., “Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian)”, CAPS, Yogyakarta, 2011.

Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., “Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian)”, CAPS, Yogyakarta, 2011.

Constantin Stanislavski, “Membangun Tokoh”, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2008.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun