Mohon tunggu...
Uchan dug
Uchan dug Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Pascasarjana UIN Banten

langkah awal untuk bisa berkarya dalam tulisan, mungkin ini akan menjadi wadah tentang tugas kampus saya dan cerita kehidupan saya, dan interpretasi terhadap lingkungan sekitar

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Garuda Biru, Drama Politik Terbaru

31 Agustus 2024   13:19 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:23 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi dibuat pribadi

Sejak pertengahan minggu ini, jagat maya Indonesia seolah diguncang oleh ledakan dari gerakan "Peringatan Darurat Indonesia." Gambar Burung Garuda dengan latar belakang biru meramaikan timeline kita, seolah menjadi simbol protes yang mewakili ketidakpuasan mendalam terhadap DPR dan pemerintah. 

Mengapa? Karena mereka terlihat sibuk berusaha menghapus keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat pencalonan kepala daerah, sementara rakyat berteriak seperti sedang menghadapi keadaan darurat.

Sungguh, pemandangan demonstrasi di depan gedung DPR/MPR pada Kamis (22/8) mirip seperti panggung teater absurd, di mana pengunjuk rasa dan polisi beradu peran dalam drama ketidakadilan. Namun, ada yang lebih menarik dari sekadar protes jalanan---yaitu frasa "Let them eat cake" yang kembali menggema di media sosial. 

Seolah-olah kita sedang menonton film sejarah Prancis dengan twist lokal, di mana penguasa tidak menyadari betapa buruknya keadaan di lapangan.

Mari kita kilas balik ke abad ke-18, di mana Prancis dipimpin oleh monarki yang sangat mirip dengan birokrasi kita hari ini. Di tengah kemewahan dan keangkuhan, Ratu Marie Antoinette, si simbol ketidakpedulian yang legendaris, diduga pernah berkata, "Let them eat cake" saat mendengar rakyatnya kelaparan. Ini bukan hanya mitos urban, tetapi juga bahan baku bagi kritik terhadap penguasa yang tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Namun, plot twist-nya adalah, frasa ini sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Antoinette. Ternyata, frasa tersebut berasal dari buku "Confessions" oleh Jean-Jacques Rousseau yang ditulis 24 tahun sebelum Revolusi Prancis. 

Alih-alih "cake", yang sebenarnya ditulis adalah "brioche," sebuah roti mewah yang tampaknya jauh dari kebutuhan dasar rakyat. Jadi, Antoinette tidak pernah benar-benar mengucapkan frasa tersebut, tetapi reputasinya sebagai penguasa yang tidak peka tetap melekat kuat.

Berpindah ke masa kini, kita menyaksikan bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 telah menjadi bumbu penyedap dalam politik kita. Putusan ini, yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah dan menetapkan syarat usia minimum, seolah menjadi "kue" baru yang diperebutkan banyak pihak. 

Ambang batas pencalonan yang sebelumnya tinggi kini turun menjadi hanya 7,5 persen, membuka pintu bagi lebih banyak partai kecil untuk bertarung dalam Pilkada. Sungguh langkah besar, atau setidaknya itulah yang diharapkan para pendukung demokrasi.

Namun, DPR dan pemerintah tidak tinggal diam. Mereka langsung merespons dengan manuver cepat yang mirip dengan aksi seorang pelawak yang mencoba mengalihkan perhatian penonton dari trik utama. 

Aturan baru yang disepakati malah memicu reaksi cepat dan sengit dari publik, yang terlihat di media sosial dengan tagar #PeringatanDarurat. 

Dengan kecepatan kilat, tagar ini menyebar dan menduduki puncak trending, seolah-olah burung garuda biru menjadi simbol perlawanan modern kita.

Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul pertanyaan: apakah tindakan DPR dan pemerintah hanya sebatas manuver politik untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, ataukah benar-benar upaya untuk menjegal potensi krisis politik? Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti---protes ini menunjukkan betapa cepatnya ketidakpuasan rakyat dapat membesar, bahkan tanpa frasa yang pernah diucapkan oleh Antoinette sekalipun.

Dengan transisi kepemimpinan yang sedang berlangsung dan ketidakstabilan global yang mengintai, Indonesia berdiri di ambang sebuah babak baru. Peringatan darurat ini, lengkap dengan simbol garuda biru dan frasa sejarah yang telah menjadi mitos, menggambarkan ketegangan dan ketidakpastian yang menyelimuti politik kita. 

Apakah kita akan belajar dari sejarah dan menghindari kesalahan yang sama, ataukah kita akan terus terjebak dalam drama yang seolah tak berujung ini?

Jadi, mari kita perhatikan dengan saksama, karena dalam teater politik ini, setiap aktor memiliki perannya masing-masing. Kita, sebagai penonton, hanya bisa berharap bahwa akhir cerita ini tidak akan mengulang sejarah kelam dan bahwa burung garuda biru kita akan terbang tinggi menuju era baru yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun