Mohon tunggu...
Ubaidul Muizi
Ubaidul Muizi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pandangan Islam terhadap Transaksi Rahn

2 Maret 2019   23:00 Diperbarui: 2 Maret 2019   23:05 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sistem pegadaian selain mempunyai dasar hukum juga mempunyai rukun dan syarat gadai  sebagai berikut:

  • Sighat (ijab dan qabul)
  • Pihak yang mengadakan akad (aqid) yaitu orang mengadakan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin).
  • Barang yang digadaikan (marhun)
  • Hutang (marhun bih)

Ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat dalam perjanjian gadai sesuai dengan gadai itu sendiri, dimana syarat-syarat yang dimaksud  terdiri atas rukun gadai tersebut.

Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil faedah ketika berlangsungnya rahn. Akan tetapi banyak ulama yang berbeda pendapat tentang pemanfaatan gadai.

Terdapat pertentangan yang hebat dikalangan ulama fiqih siapakah yang benar-benar dapat memanfaatkan barang gadaian atau jaminan itu. Adapun hukum mengambil manfaat barang jaminan oleh si pemegang gadai, terlebih dahulu patut kita ketahui bahwa gadai itu bukan akad penyerahan milik sesuatu benda dan juga manfaatnya menurut sebagian ulama. hanya yang timbul dengan sebab akad itu adalah hak menahannya.(Mahmud Muhammad Syaltut dan M. Ali As-Sayis, Muqaranah al-Madzahib fi al-fiqh, hal.147).

Beberapa ulama berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya (Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm.256).

Apabila pemberi utang memanfaatkan barang jaminan itu, maka hasil yang ia makan/manfaat dari barang jaminan itu termasuk dalam kategori riba yang diharamkan. Kesepakatan ulama menetapkan baik hasil maupun rugi adalah untuk yang menggadaikan, maka yang pegang jaminan tidak memiliki apa-apa kecuali dengan izin yang menggadaikan.

Apabila tidak diizinkan oleh yang menggadaikan, meskipun barang gadaian itu adalah barang yang dapat dikendarai, maka ulama berpendapat bahwa itu sama sekali tidak dapat diambil manfaat oleh si pemegang jaminan. Akan tetapi Imam Ahmad,Ishaq, Al-Laits, Al-Hasan dan satu jama'ah berpendapat boleh mengambil manfaat barang itu untuk dikendarai dan diperah sekedar belanja yang dikeluarkan. (Mahmud Muhammad Syaltut dan M. Ali As-Sayis, Muqaranah al-Madzahib fi al-fiqh, hal.148 dan Ibnu Rusyd, bidayah al-Mujtahid hal.208).

Menurut madzhab Syafi'i adalah halal bagi penggadai untuk mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut tanpa izin pemegang gadai. Karena barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak dapat dihalang-halangi untuk mmanfaatkan hak miliknya. Namun demikian, pemanfaatan itu tidak boleh merusak, baik kualitas maupun kuantitas barang itu. Oleh , jika terjadi kerusakan pada barang tersebut, maka pemilik bertanggung jawabatas hal itu.(Asy-Syarbaini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, hlm.131).

(Al-Kasani, al-Bada'i'u ash-Shana'i'u, hlm.146 dan Ibnu qudamah, al-Mughni, hlm.390) Berbeda dengan ulama Hanafiyah dan Hanabilah, menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, apabila diizinkan oleh pemegang jaminan. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu, haruslah mendapt izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannyabertanggung jawab membayar ganti ruginya.

Mengapa demikian ulama berbeda pendapat karena itu adalah bentuk kehati-hatian para ulama fiqih dalam menetapkan hukum pemanfaatan barang jaminan, baik oleh ar-rahin maupun oleh al-Murtahin bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Karena hakikat rahn dalam islam adalah akad yang dilaksanakan memiliki tujuan tolong-menolong antar sesama  manusia.

Dari ulasan diatas dapat kita simpulkan bahwa gadai syariah merupakan upaya realisasi dariajaran islam yang harus diyakini kebenarannya dan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan ibadah dala bentuk ekonomi nyata. Tetapi kita sebagai muslim harus menjalanka syariat islam dalam bertransaksi gadai ataupun transaksi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun