Mohon tunggu...
muchammad ubaidillah
muchammad ubaidillah Mohon Tunggu... -

saya hanyalah sesosok daging yg berangan2.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pada Akhirnya Tuhan Juga di Tak Kenalkan

12 Mei 2010   22:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seakan-akan “Allah” bukanlah nama yang dipakai oleh orang Arab di zaman pra-Islam, baik yang jahiliah maupun yang hanif, baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan-akan “Allah” semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di sebuah kerajaan yang beradat-istiadat tersendiri.

“Tuhan mereka berbeda dengan Tuhan kami,” kata kaum Fundamentalis Kristen yang melihat dunia Islam dengan waswas. Seakan-akan Tuhan-orang-Kristen, Tuhan-orang-Yahudi, dan sederet tuhan yang lain, bersaing—persis seperti Tuhan yang cemburu dalam sajak Zarathustra.

Mungkin sebab itu para rasul perlu datang lagi. Tapi bisakah? Saya coba renungkan lagi Fusus al-Hikam (ditulis pada tahun 1229), melalui Sufism and Taoism, uraian yang tekun dan terang dari Toshihiko Izutsu, ilmuwan Jepang yang jadi penafsir utama Ibn ‘Arabi.

Saya kini kian tahu kenapa Tuhan adalah Yang Mutlak. Tapi kita agaknya hidup di dunia yang dikuasai oleh ahl ‘aql wa-taqyid wa-hasr, mereka yang mendekati Yang Gaib seraya “mengikat, membatasi, dan mengekang.” Tuhan pun diperkecil.

Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan.

Tuhan yang seperti itu hadir di mana-mana, tapi seakan-akan variasi dari sebuah patung polisi lalu lintas: sesosok berhala di tepi jalan, untuk mengingatkan, menakut-nakuti, mengawasi. Tuhan bukan lagi sumber dari “rahmah al-imtinan” yang dilukiskan Ibn ‘Arabi: rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja—rahmat yang bahkan bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik.

Dengan Tuhan yang tanpa rahmat seperti itu, kita pun hidup di masa yang ditandai Fehl Gottes: “gagalnya Tuhan datang,” kata Heidegger. Meskipun nama-Nya disebut terus-menerus, “dunia telah menjadi tanpa penyembuhan, tak suci.” Sebaris sajak Chairil mungkin mengungkapkan hal itu: “Caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di malam hari.”

Adakah di sini kita berbicara tentang “sekularisme”? Saya kira tidak. Mungkin kita justru berbicara tentang suasana ketika “yang suci” telah jadi banal, ketika “yang kudus” diletakkan sebagai rutin hidup sehari-hari, dan mengurus tetek-bengeknya. Pada saat itu memang “Tuhan” ramai-ramai dipasarkan dan dipamerkan. Tapi ia diletakkan di sebuah kotak, seperti seraut pohon bonsai.WAALAHU'ALAMU BI AL SAWAB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun