Mohon tunggu...
Ubaidatul Fathonah
Ubaidatul Fathonah Mohon Tunggu... -

tinggalkan dunia dan biarkan dunia mengejar kita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pertumbuhan Agama pada Anak

23 November 2014   16:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:04 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat "laten". Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini.

Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu 1) prinsip biologis; secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instingtif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal. 2) prinsip tanpa daya; sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru lahir hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. 3) prinsip eksplorasi; kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan perkembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.

Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada pula yang berpendapat sebaliknya, bahwa anak sejak dilahirkan telah membawafitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.

Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembanganfungsi-fungsi kejiwaan lainnya.

Teori mengenai pertumbuhan agama pada anak antara lain: 1) rasa ketergantungan (sense of depend). Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Whises. Menurutnya, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keingingan, yaitu keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognation). Berdasarkan kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada anak. 2) insting keagamaan. Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting di antaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.

Misalnya, insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi, insting sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Jadi insting sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula insting keagamaan.

Bantahan terhadap pendapat ini dikemukakan oleh lawannya dengan mengemukakan sanggahan: "kalau anak sudah memiliki insting keagamaan, mengapa orang tidak terhayati secara otomatis ketika mendengar lonceng gereja dibunyikan? Selain itu, kenapa terdapat perbedaan agama di dunia ini? Bukankah cara berenang itik dan cara burung membuat sarang yang didasarkan pada tingkah laku instingtif akan sama caranya di setiap penjuru dunia ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun