Era global memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau tidak mau, siap tidak siap, perubahan itu diperkirakan bakal terjadi. Di kala itu, manusia dihadapkan pada peradaban umat manusia. Sedangkan d sisi lain manusia dihadapkan kepada malapetaka sebagai dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu sendiri.
Dalam kondisi seperti itu, barangkali manusia akan mengalami konflik batin besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi dengan kekosongan ruhani. Kegoncangan batin yang diperkirakan akan melanda umat manusia ini, barangkali akan mempengaruhi kehidupan psikologis manusia. Pada kondisi ini, manusia akan mencar penenteram batin, antara lain agama. Hal ini pula barang kali akan menyebabkan munculnya ramalan futurulog bahwa di era global akan mempengaruhi jiwa manusia.
Era global bertepatan dengan milenium III. Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan bidang transportasi. Kemudian dengan dukungan teknik komunikasi yang canggih, manusia dengan mudah dapat berhubungan dan memperoleh informasi.
Kehidupan manusia di era global mengacu ke kehidupan kosmo-politan (warga negara). Batas georgafis negara seakan melebur menjadi kawasan global (dunia yang satu). Demikian pula dengan rasa kebangsaan kian menipis. Kondisi seperti ini tampaknya mulai dialami oleh bangsa-bangsa di negara Eropa. Mereka mulai tertarik kepada Uni Eropa, ketimbang negara kebangsaan.
Di pihak lain, dampak dari mobilitas manusia yang semakin tinggi dan kemudahan transportasi, terjadi proses lintas budaya yang cepat. Dukungan dari kecanggihan sistem informasi, menjadikan dunia semakin transparan. Apa yang terjadi di suatu tempat, di wilayah tertentu, dengan mudah dan cepat tersebar dan diketahui masyarakat dunia. Hampir tiada yang tersembunyi. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa.
Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengakami penggerusan. Manusia mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari ajaran agama. Era global dan milenium III seakan menawarkan alternatif kehidupan baru bagi manusia, yakni kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Di pihak lain, manusia juga dihadapkan pada upaya untuk mempertahankan sistem yang nilai yang mereka anut.
nilai sebagai sesuatu yang dianggap benar dan diyakini, serta perlu dipertahankan. Sementara itu, mereka pun memerlukan produk teknologi yang menjanjikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan hidup. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan keraguan dan kecemasan kemanusiaan (human anxiety). Dalam situasi yang cemas ini manusia mencari pilihan yang diyakini dapat menentramkan jwanya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa. Golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya. Oleh karena itu, ada kalanya mereka melarikan dirinya ke agama-agama yang memiliki tradisi mistis. Kecenderungan ini terkait dengan kebutuhan psikologis yang sedang mengalami kegoncangan. Kecenderungan seperti ini pula tampaknya yang diprediksi oleh Alvin Toffler, bahwa abad ke-21 sebagai era keberagaman.
Namun kegoncangan batin dapat pula mendorong manusia untuk memperturutkan khayalan semuanya. Golongan ini mungkin saja akan tetap bertahan dan larut dalam keterikatannya dengan pengaguman terhadap kecanggihan teknologi. Kecemasan batin dinetralisasi dalam kenikmatan duniawi. Pelarian diri ke alkohol dan obat bius, walauoun bersifat semu, dianggap mampu menentramkan kegelisahan batin. Karena sifatnya sementara, maka golongan yang "salah pilih" ini akan menghancurkan kehidupannya.
Adapun kecenderungan berikutnya adalah dengan menciptakan "agama" baru melalui berbagai ritus dan upacara yang disakralkan. Bila mereka dapat mempengaruhi dan mengumpulkan banyak pengikut, akan muncul menjadi semacam gerakan keagamaan. Berbagai macam gerakan keagamaan seperti ini pada hakikatnya merupakan tindakan kompensatif. Hanya sekadar menentramkan batin, mengisi jiwa yang mengalami kekosongan itu terasa menyakitkan, hingga perlu mengajak orang lain secara bersama-sama larut dalam upacara yang mereka rekayasa.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan yang pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan kecenderungan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H