Mohon tunggu...
Uays Hasyim
Uays Hasyim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Berbuat untuk lebih bermanfaat, beraksi agar lebih berarti.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ah, ... ETIKA, engkau pergi kemana ?

12 Februari 2014   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Monggo mbah .. hehe”, ujar sahabat lama saya semasa SMA waktu ketemu di SIM Corner Sun City Mall Sidoarjo. Deky Ariyanto namanya, Security di BCA Sidoarjo sebagai tugas kesehariaannya. Lho, apaan mbah ? Saya seumuran dengannya, namun dia terbiasa memanggil saya “mbah”. Terbawa panggilan semasa SMA dulu, ketika kegiatan luang kita masih fokus pada kegiatan pendakian gunung dengan mendirikan Pecinta Alam – RESI PALA (Remaja Sidoarjo Pecinta Alam) kisaran tahun 1997.


Di kegiatan pecinta alam, panggilan “mbah” adalah panggilan penghargaan bagi mereka yang paling senior dari kemampuan dan pengalaman. Ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mungkin sebagian besar penggemar olah raga hiking memahaminya. Itu dahulu, sekarang ?? Ah, .. entahlah, ... hehehehe.

Justru, ketika kita seumuran itulah rasa saling menghargai ditanamkan sebagai bekal kemudian. Sehingga, didalam mereka mengahadapi tantangan kehidupan yang sebenarnya dimasyarakat, mereka telah siap memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki.

Lain lagi dengan Mas Fajar, pria bersahaja dan rikat (gerakannya cepat) ini memiliki nama asli Muhammad Fajar. Saya mengenalnya sekitar bulan Agustus 2004, selisih 3 bulan setelah saya diterima bekerja di sebuah instansi sebagai staf IT. Bersahaja ? iyah benar bersahaja, demikian saya menyebutkannya. Sebab, dengan kemampuan sama-sama lulusan SMA (waktu itu) dia bersedia menjalankan tugas sebagai petugas kebersihan yang tidak sedikit orang meremehkan apa yang dilakukannya.


Namun, saya melihatnya lain dan beda. Kok, bisa ? iya, setelah saya berusaha berdiskusi banyak hal denganya, ternyata saya dengannya memiliki kesamaan. Yakni, sama-sama penghobi Pramuka. Sama-sama perantau ulung, dimana lebih dari 10 tahun harus ‘ngenger’ alias ikut orang lain bukan orang tua untuk bisa sekolah dan belajar hidup mandiri.

Merasa memiliki kesamaan, saya mencoba untuk sering diskusi tentang banyak hal. Entah masalah Pramuka, kegiatan out door, masa lalu, keluarga dan lain sebagainya. Tak jarang, terlibat kegiatan kepramukaan bersama-sama.

Yang menjadi hal yang tidak biasa bagi kami, sampai-sampai Kepala Sub Bagian Tata Usaha instansi saya waktu itu, Bu Rina Setyaningsih, SKM berujar “wah sampeyan itu mengingatkan aku pada waktu di Bandung saja dik, sama-sama seumuran pakai menggunakan bahasa jawa halus (ngoko halus/kromo)”.


“Hahaha, .... “ aku cuman ketawa mendengar apa yang beliau sampekan. Nah, itulah nilai beda yang saya maksud. Saya dan mas Fajar, kecenderungannya ketika ngobrol dan diskusi menggunakan bahasa jawa ngoko halus atau kadang-kadang kromo, bahasa yang mestinya digunakan untuk yang jauh lebih tua. Hehe, ... padahal kita seumuran

Lalu apa hubungannya dengan judul diatas cerita-cerita yang saya kemukakan. Hehehe, .. meski ndak nyambung, saya akan coba menyambungkannya. Gampang kan ? .. hiihihihihi

Begini, .. ah, kayaknya apaan aja, santai saja jangan serius-serius bacanya yah.

“Nilai sikap etika perilaku kepada sesama apalagi kepada yang lebih tua, saat ini begitu luar biasa LUNTUR-nya, hilang menguap bagai embun diterpa mentari pagi, tak berbekas. Kok bisa, coba lihat beberapa pengalaman yang pernah saya dapatkan :


  1. Selain sebagai seorang profesional dibidang IT, keuangan, wira usaha, saya juga sangat aktif dibidang Pendidikan. Kepramukaan menjadi wahana saya menempa mental dan sikap etika perilaku. Meski demikian keras saya coba terapkan, saya mendapatkan sambutan yang berbeda. Pernah saya dapati adik didik saya mengambil pemberian dari kakak-kakaknya, meski pemberian itu tidak dikenakan biaya alias gratis, dengan kedongkolan dan seenaknya mengambil pemberian itu dengan tangan kiri, tidak ada ucapan terima kasih lagi. Subhanalloh, ... cerdas dan kreatif sebenarnya mereka namun etikanya ? ...
  2. Generasi sekarang saya menyebutnya sebagai generasi ‘instan’, kok bisa ? Hehe, .... semuanya minta serba instan alias cepat saji. Ah, .. yang penting kenyang, .. hihihi (kayak mie instan saja). Pola pendidikan yang saya terapkan adalah kemampuan berpikir secara berputar dan menyeluruh istilah kerennya berpikir secara holistikasi. Mengapa demikian ?, sebab pola pikir ini mampu memberikan umpan balik pembelajaran yang menyeluruh bagi nilai kemandirian. Gampangnya begini, kalau peserta didik kita bertanya tentang bagaimana caranya mereka bisa pergi ke kota Malang, harapannya mereka bisa mendapatkan jawaban yang cepat dan sesuai pertanyaan yang mereka ajukan. Alias, soal dan jawaban sesuai. Pola pikir Holistikasi tidalah demikian. Jawaban dari pertanyaan yang mereka lontarkan adalah pertanyaan juga. Lho, kok bisa ? Ya, bisa dong. Masa gitu aja ndak bisa ? hehehe. Eh, just kidding kok. Jawaban yang berupa pertanyaan yang dimaksud disini adalah dengan menyampaikan beberapa pertanyaan ulang terkait pokok pertanyaan tersebut. Mungkin dengan menyampaikan pertanyaan, tujuannya Malang mana ? Mau lewat jalur mana ? Posisi awal dari mana ? Naik kendaraan apa ? dan lain sebagainya. Ah, .. tidakkah ini akhirnya seolah-olah terkesan mau tahu saja urusan orang lain. Justru dengan pertanyaan yang disampaikan ulang ini, kita bisa mengidentifikasi kemungkinan yang terbaik dari jawaban yang kita berikan agar jawaban apa yang sangat diharapkan mampu disampaikan. Kenyataannya, kondisi anak muda sekarang tidaklah demikian. Sebenarnya, dengan pola ini kita sedang mengajarkan analisa dan kreatifitas. Kok bisa, coba perhatikan. Dengan pertanyaan ulang, akhirnya mereka dituntut untuk berpikir kembali apa-apa yang akan dilakukan kemudian. Ini merangsang kemampuan menganalisa secara tepat dan terencana. Kreatifitas ? Iya, Kreatif. Sebab dari sejak awal mereka telah dituntut untuk berpikir secara kreatif merencanakan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti.


Sayangnya nilai sikap etika perilaku saat ini sudah mulai sangat amat memudar pergi entah kemana, seolah enggan kembali. Lembaga pendidikan yang katanya berbasis pendidikan karakter, nyatanya telah gagal memposisikan sikap etika perilaku sebagai tujuan utama pembelajaran. Alih-alih peserta didik sikap etika perilakunya tertata, yang terjadi pendidikan kencederungannya dikomersialkan. Sehingga, terkadang saya miris jika memperhatikan yang demikian.

Banyak yang lupa, sebuah peneliatian di Inggris sebagai negara yang kebebasannya banyak orang mengetahuinya. Ditemukan bahwa, dari 5.000 pelamar kerja, hanya 500 pelamar yang diterima untuk dilanjutkan seleksi. Dan dari yang diseleksi ternyata yang diterima hanyalah 250 orang karena dinilai memiliki sikap etika perilaku yang baik jika ditinjau dari kenyataan yang ada dan perilaku sosial yang mereka jalani. Ini negara yang kebebasannya sangat terbuka luas bagi masyarakatnya saja masih memperhitungkan sikap etika perilaku. Anda bisa banyangkan dari 5.000 itu hanya 250 orang yang memiliki nilai baik dalam sikap etika perilaku.

Sudahkah banyak yang melupakan, jika 80 % yang mempengaruhi tingkat kesuksesan seseorang adalah Sikap etika perilaku. Sedang, kompetensi alias kemampuan hanya memberikan kontribusi 20 %.


Lalu, masih ragukah kita dengan sikap etika perilaku itu ?

#Sebuah serpihan kecil Mutiara Langit Uays Hasyim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun