Mohon tunggu...
Tengku Zulkarnaen
Tengku Zulkarnaen Mohon Tunggu... -

Menulis bukan untuk mencari sensasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Qanun Wali "Raja" Nanggroe Dengan Identitas GAM; Suatu Kebetulan Kah ?

4 Maret 2014   03:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 1314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_298369" align="aligncenter" width="536" caption="Polemik Qanun Wali Nanggroe - Flickr.com"][/caption]

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atau biasa di sebut Aceh masih saja di warnai berbagai polemik menarik untuk di cermati. Daya tarik Aceh mulai dari predikatnya sebagai "Serambi Mekkah" dengan syariat Islamnya, GAM, Ganja, sampai perihal Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe dan Identitas Aceh (lambang dan bendera Aceh) yang saat ini sedang ramai menjadi polemik baik di kalangan masyarakat Aceh ataupun masyarakat di luar Aceh secara luas.

Banyak kalangan yang menilai Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 dan Qanun No. 9 Tahun 2013 (Qanun perubahan dari No, 8 Tahun 2012) tentang Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dan Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Identitas Aceh ( bendera dan lambang Aceh) telah banyak melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dimana Kewenangan Qanun LWN juga melebihi kewenangan yang diberikan UUPA.

Penolakan terhadap Qanun-Qanun ini tidak hanya berasal dari Pemerintah Pusat karena telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga dari sejumlah daerah di Aceh seperti kabupaten Aceh Tenggara, kabupaten Gayo Lues, kabupaten Bener Meriah, kabupaten Aceh Tengah, kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Aceh Singkil. Daerah-daerah itu keberatan terhadap pemberlakuan Qanun LWN serta Qanun Identitas Aceh (Bendera dan Lambang Aceh), karena isi dari Qanun tersebut ini tidak dikenal dalam budaya di enam kabupaten tersebut dan dianggap diskriminatif. Penolakan itu juga karena Qanun-qanun tersbut berpotensi menimbulkan polemik berkepanjangan atau bahkan juga mengancam kedaulatan NKRI jika tetap disahkan, .

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum yang lebih rendah kedudukannya tidak bisa melawan hukum yang lebih tinggi. Misalnya ketika gerakan otonomi daerah menjadi kuat dan populer terutama bagi daerah-daerah khusus dan Istimewa, maka akan muncul tuntutan untuk disahkannya Perda yang khas dan memang diperuntukan bagi daerah terkait, akan tetapi selama Perda tersebut tidak sampai melampaui Undang-undang, maka hal itu sangat mungkin untuk dilakukan.

Hierarki peraturan perundang-undangan menurut pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun disebutkan sebagai Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah Provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, sehingga jelas bahwa posisi Qanun adalah di bawah Undang-Undang.

Qanun Lembaga Wali Nanggroe

[caption id="attachment_298371" align="aligncenter" width="417" caption="Kewenangan Absolut Wali Nanggroe - Flickr.com"]

1393851645476139048
1393851645476139048
[/caption]


Tanggal 16 Desember 2013, DPR Aceh mengangkat Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe ke-9 walaupun Qanun Wali Nanggroe sebagai dasar hukum lembaga tersebut masih belum diterima oleh Pemerintah Pusat. Alasannya karena substansi dari Qanun tersebut banyak yang melanggar aturan Perundang-undangan yang berlaku seperti UUPA, dimana pada pasal 96 menyebutkan bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga adat, bukan sebagai lembaga politik dan lembaga pemerintahan. Namun dalam Qanun No 9 tahun 2013 tentang Wali Nanggroe terdapat pasal-pasal mengenai kewenangan Wali Nanggroe dalam bidang politik dan pemerintahan, maka sangat jelas bahwa dengan sendirinya pengangkatan Wali Nanggroe ini menjadi ilegal.

Kewenangan yang akan dimiliki oleh seorang wali nanggroe tergolong istimewa. Seorang wali nanggroe mendudukijabatan tersebut seumur hidup, menguasai aset kekayaan Aceh yang berada di dalam dan luar negeri, memberhentikan gubernur serta membubarkan parlemen, membentuk konsulat di luar negeri, menandatangani kerjasama bisnis dengan investor asing, menerima tamu asing, dan menyatakan Aceh dalam keadaan bahaya atau darurat bencana. Bahkan dalam pasal 5 UU No 11 Tahun 2006, disebutkan Wali Nanggroe membuat keputusan akhir bila suara terbanyak tidak tercapai, membuat sekretaris dan mengelola keuangan sendiri. Dengan kewenangan seperti itu, bisa dikatakan bahwa Wali Nanggroe sudah melampaui kewenangan Presiden Republik Indonesia.

Bisa dibayangkan, kewenangan seorang Wali Nanggroe ini bisa berpotensi menciptakan kembali pemerintahan feodal, yang berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat tinggi, dan dengan anggaran operasional yang sangat besar untuk Lembaga Wali Nanggroe akan cenderung mendorong merebaknya prilaku korupsi yang sangat parah terhadap uang yang seharusnya diperuntukan bagi pemerataan kesejahteraan rakyat Aceh.

Qanun Identitas Aceh (Lambang dan Bendera )

[caption id="attachment_298370" align="aligncenter" width="500" caption="Kenapa Bendera Aceh Sama Persis dengan Bendera GAM - kabarnet.wordpress.com"]

13938509261500418660
13938509261500418660
[/caption]


Menilik dari latar belakang seorang Malik Mahmud yang merupakan tokoh GAM, pengangkatan secara de factoatau dirinya sebagai Wali Nanggroe, dapat dipastikan kader Partai Aceh di DPR Aceh akan segera mendesak realisasi Qanun Identitas Aceh (Lambang dan Bendera Aceh) yang menggunakan Lambang dan Bendera GAM. Hal itu dilakukan untuk menarik simpati dari masyarakat Aceh yang mendukung perjuangan GAM, sehingga Partai Aceh dapat kembali memenangkan Pemilu 2014. Jika hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin ke depannya DPR Aceh dapat mengeluarkan Qanun tentang Referendum bagi rakyat Aceh.

Pengibaran bendera bulan bintang (bendera GAM) di sejumlah wilayah Aceh beberapa waktu lalu yang seolah-olah keinginan rakyat Aceh, adalah salah satu strategi Partai Aceh untuk menekan Pemerintah Pusat untuk secepatnya meloloskan Qanun ini. Jika hal tersebut benar-benar terjadi maka dapat dipastikan, Aceh tidak lagi hanya lepas dari kendali Pemerintah Pusat tetapi lepas dari bagian NKRI.

Pemerintah Pusat Harus Tegas

Dengan adanya polemik ini, dan berbagai usaha para elite Partai Aceh untuk bisa meloloskan Qanun-Qanun tersebut diatas, maka sudah semestinya Pemerintah Pusat bersikap tegas dan konsisten untuk menolak segala macam bentuk loby yang diagendakan para elite Partai Aceh karena sudah dapat dipastikan bahwa selama substansi Qanun masih seperti ini, maka Qanun ini hanya akan mendukung kepentingan pribadi elite-elite Partai Aceh dan bukan untuk kesejahteraan hidup rakyat Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun