Kelanjutan Sepakbola Indonesia di tengah pandemi Covid-19 belum menemui kejelasan, karena memang PSSI tidak ingin mengambil resiko di tengah pandemi dengan terburu-buru melanjutkan kompetisi.Â
Kondisi seperti ini juga pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada tahun 1998, ketika itu Liga Indonesia musim 1998-1999 adalah sebagai "pelepas dahaga" persepakbolaan Indonesia setelah musim 1997-1998 yang terhenti di tengah jalan dikarenakan krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia.
Kemudian diwarnai dengan turunnya rezim "semi statis", yaitu orde baru. Liga dijalankan dengan penuh efisiensi, mengingat perekonomian Indonesia pada saat itu belum pulih benar.Â
Pada musim 1997-1998 Divisi Utama Liga Indonesia terdiri dari 3 wilayah, yaitu Barat, Tengah, dan Timur dengan total klub adalah 32 klub, namun pada musim 1998-1999 terdapat 5 grup dengan total jumlah klub adalah 28.Â
Pembagian ke dalam 5 grup ini dilakukan dengan dasar efisiensi, karena dengan grup yang hanya terdiri dari 5-6 klub, tentu saja operasional untuk setiap klub akan jauh lebih ringan.Â
Saat itu PSIS Semarang menjadi juara Liga pada musim 1998-1999, meskipun melalui jalan berliku, dan bisa dikatakan menjadi juara dengan torehan yang "minimalis".Â
Dilatih oleh Edy Paryono dan diperkuat oleh 4 pilar Arseto Solo (Yang bubar), yaitu I Komang putra, Agung Setyabudi, Bonggo Pribadi, dan Ali Sunan, PSIS tergabung di Grup 4 bersama "Raksasa Perserikatan" yaitu Persebaya, Barito Putra, Persema Malang, dan Gelora Dewata.
Adapun pertandingan dilakukan dengan format kandang-tandang, dimana 2 klub posisi teratas akan lolos ke babak 10 besar. PSIS lolos di peringkat kedua dengan 11 angka, di bawah Persebaya Surabaya (17 angka), dan lolos ke babak 10 besar.
Di babak 10 besar, dengan format setengah kompetisi dan digelar di Stadion Utama Senayan (Sekarang Setadion Utama Gelora Bung Karno), PSIS satu grup dengan (lagi-lagi) Persebaya Surabaya, Semen Padang, Persikota Tangerang, dan Petrokimia Putra Gresik.Â
Klub peringkat 2 besar masing-masing grup akan lolos ke babak semifinal, dengan Juara Grup A bertemu dengan Runner Up Grup B, dan Juara Grup B akan bertemu dengan Runner Up Grup A. PSIS lagi-lagi lolos sebagai Runner Up Grup A dengan 7 angka di bawah (yang juga lagi-lagi) Persebaya Surabaya (10 angka).
Di Semifinal PSIS bertemu dengan Juara Grup B, yaitu Persija Jakarta di stadion Utama Senayan, dan menang tipis 1-0 lewat gol tunggal pemain asal Kamerun, Ebanda Timothy.Â
Dan dengan kemenangan tipis tersebut, PSIS berhak lolos ke final Divisi Utama Liga Indonesia, dan untuk keempat kalinya dalam satu musim bertemu lagi dengan Persebaya Surabaya yang mengalahkan PSMS Medan lewat adu penalti. Sungguh PSIS dan Persebaya seperti "jodoh" pada musim tersebut.
Menjelang laga final, yang digelar di Stadion Klabat, Manado, Â Persebaya diunggulkan akan menang "mudah" melawan PSIS Semarang, mengingat dalam 3 pertemuan sebelumnya Persebaya menang 2 kali dan seri satu kali.
Bahkan PSIS belum pernah sekalipun membobol gawang Hendro Kartiko, dimana hasil seri didapatkan pada saat bertandang ke Semarang pada babak Grup Pertama dengan skor 0-0, dan menang masing-masing 2-0 pada saat di babak pertama , dan 3-0 di babak 10 besar.Â
Namun laga final terasa seperti pertarungan antara David melawan Goliath, dimana Persebaya tampil sebagai Goliath dengan menggempur pertahanan PSIS Semarang belum juga membuahkan hasil.
Jjustru PSIS yang sama sekali belum mendapatkan peluang mampu memanfaatkan satu-satunya peluang yaitu melalui "Maradona Purwodadi", Tugiyo yang membobol gawang Hendro Kartiko pada menit ke-89, setelah menerima umpan pemain hasil "PHK" Arseto Solo, Agung Setyabudi.Â
Stadion Klabat Manado pun bergemuruh, dan hasilnya hingga peluit panjang ditiupoleh wasit Jajat Sudrajat, skor tidak berubah, dan PSIS menjadi kampiun baru pada musim itu.Â
Dan banyak pemain dari PSIS Semarang mulai berbondong-bondong dipanggil masuk ke Tim nasional PSSI, diantaranya adalah Tugiyo, sang pahlawan kemenangan. Selain itu kapten tim, Ali Sunan juga terpilih sebagai pemain terbaik pada musim tersebut, dan dipanggil masuk ke Tim nasional PSSI.
PSIS menjadi juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 1998-1999 di tengah efisiensi setelah krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia, dan dapat dikatakan juga sebagai bukti bahwa memang bola itu bundar, hasil bisa diwarnai dengan kejutan. Bagaimana tim dengan skuad "sederhana" dapat menjadi juara dengan mengalahkan tim bertabur bintang macam Persebaya Surabaya.Â
Demikian artikel dari saya, semoga bermanfaat, dan semoga pandemi Covid-19 segera berakhir. Jangan lupa untuk hidup sehat, serta taati peraturan Pemerintah selama masa kenormalan baru, dan salam olahraga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI