Mohon tunggu...
Hanantyo Wahyu Saputro
Hanantyo Wahyu Saputro Mohon Tunggu... Guru - Rakyat Biasa

Guru di SMK Bina Taruna Masaran Sragen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Karet, "Melar" Secara Fisik tapi "Mengkerut" Secara Harga

5 Juni 2020   13:27 Diperbarui: 8 Juni 2020   05:34 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara agraris, banyak terdapat pertanian, perhutanan, perikanan, dan juga perkebunan. Di sektor perkebunan ditanam berbagai macam tanaman, diantaranya kakao, kopi, teh, gula, dan juga karet. Bahkan pada zaman kolonial Belanda, Indonesia memiliki banyak  pabrik yang mengolah hasil perkebunan, yang kemudian setelah Indonesia merdeka dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dari sekian banyak komoditas, salah satu yang pernah berjaya di zamannya yaitu karet. Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini mulai dibudidayakan di Indonesia pada awal abad ke-20, dan menjadi komoditas unggulan Indonesia. 

Saat ini Indonesia adalah negara penghasil karet terbesar di dunia di bawah Thailand, meskipun memiliki lahan yang lebih luas daripada Thailand. Tanaman karet pernah mengalami masa keemasan pada awal 2010-an, ketika itu harga jual karet sempat mencapai US$ 4 per kilogram.

Namun seiring berjalanya waktu, harga karet menjadi semakin "mengkerut" meskipun secara fisik karet memiliki bantuk yang dapat "melar",  harga turun hingga Rp. 8.000,- hingga Rp. 8.500,- per kilogram karet dengan kadar karet kering (K3) 50 persen.

Dengan menurunnya harga yang sangat drastis dalam 8-9 tahun terakhir, banyak terjadi kelesuan di bidang pengolahan bahan karet, dan berimbas pada banyaknya "pengistirahatan" tenaga kerja, mengingat perkebunan di Indonesia masih menggunakan sistem padat karya, sehingga apabila produksi turun maka akan berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja.

Banyak yang mengatakan apabila penyebab kelesuan pengolahan karet karena masih menganut sistem padat karya, namun menurut saya sistem padat karya bukan suatu masalah, karena dengan menggunakan tenaga kerja yang banyak, maka akan berkurang juga tingkat pengangguran.

Teknologisasi juga merupakan hal yang sangat baik di bidang efisiensi biaya, namun mesin tetaplah mesin, namun tenaga kerja adalah manusia yang memiliki keluarga yang perlu untuk diberikan nafkah.

Namun apabila memang perlu dilakukan teknologisasi, maka lebih dahulu dipersiapkan infrastruktur dan juga suprastruktur, yang diantaranya adalah kebijakan-kebijakan yang mendukung kepada pemanfaatan teknologi di masa depan, termasuk dengan mempersiapkan tenaga kerja muda yang cakap menggunakan infrastruktur yang akan dipersiapkan.

Kembali lagi pada pengolahan karet, dimana dengan harga karet yang tergolong rendah, maka akan semakin memperbesar kemungkinan defisit bagi pelaku usaha, dan seringkali apabila mengalami defisit maka akan dilakukan sutau langkah cepat untuk mendapatkan uang, yaitu dengan menjual atau paling tidak menyewakan lahan kepada pihak lain.

Hal tersebut secara jangka pendek memang dapat menghasilkan uang, namun apabila nanti terlalu terlena dlam "zona nyaman" tersebut akan mengakibatkan resesi yang berkelanjutan, menjual lahan itu dapat diibaratkan memakai obat pati rasa tanpa resep dan perawatan dokter, setelah efeknya selesai akan semakin sakit.

Dalam teori ekonomi kapitalis dikatakan bahwa orang yang terkaya adalah "Tuan Tanah", dalam artian orang yang menguasai perekonomian adalah orang yang memiliki lahan. Dapat diartikan juga bahwa lahan adalah tanah, dimana sektor agraria dan sektor ekstraktif yang merupakan komponen penting pemenuhan kebutuhan manusia berasal dari tanah. 

Apabila tanah sampai terjual, maka sama saja dengan memberikan keayaan kepada orang lain. Secara naif dapat dikatakan bahwa tanah memiliki harga yang akan terus naik, namun bukan hanya naif, tetapi memang begitulah adanya.

Pada zaman kolonial Indonesia pernah memioliki pabrik karet Tjipetir yang terletak di Kabupaten Sukabumi yang menyuplai hampir semua kebutuhan lateks di seluruh dunia, belum lagi BUMN-BUMN di era pasca kemerdekaan yang mampu mendominasi suplai karet di seluruh dunia, mengingat hampir semua sektor industri membutuhkan karet sebagai bahan dasarnya, seperti pada industri otomotif yang menggunakan banyak material karet di dalamnya.

Menurunnya harga karet saat ini memang membuat kelesuan, namun hal tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menyerah. Saya yakin seiring berjalannya waktu karet akan kembali berjaya, apalagi jumlah lahan yang terus menyempit, dan jumlah manusia yang terus bertambah, maka naiknya harga karet adalah urusan waktu, atau dapat dikatakan tinggal menunggu waktunya.

Sesuai dengan hukum ekonomi yang mengatakan bahwa dengan tingginya permintaan namun jumlah barang yang terbatas, maka akan menyebabkan naiknya tingkat penawaran.

Karet akan selalu dibutuhkan, dan industri pun akan semakin bertambah, sehingga jelas pemilik bahan karet akan berada pada "Bargaining Position" atau posisi tawar , dan disitulah penawar akan dapat mengelola harga. Namun apabila yang dicari solusi instan, yaitu menjual tanah, maka jelas posisi tawar tersebut akan semakin menjauh.

Menurut saya, meskipun harga karet terus jatuh, menurunkan jumlah produksi sah-sah saja, namun jangan sampai memindah alihkan kepemilikan lahan, karena lahan adalah bentuk kekuasaan.

Semoga harga karet dapat segera naik hingga tingkat yang layak, sehingga sektor perkebunan di indonesia dapat menjadi yang terbaik di dunia. Mengingat luas lahan karet di Indonesia tentu saja probabilitas menjadi "raja" produsen karet di dunia semakin tinggi.

Saya sangat tidak setuju apabila ada yang mengatakan kejayaan karet tinggal kenangan, karena karet tidak akan pernah berakhir, dan akan selalu digunakan, meskipun ada yang mengatakan telah ada bahan sintetis sebagai pengganti karet.

Meskipun bahan sintetis itu benar adanya, maka kualitasnya tidak akan sebagus karet asli, yang namanya sintetis akan tetap sintetis, bahan kelas dua, yang namanya bahan asli tetaplah bahan asli yang berkualitas unggul, dan di zaman yang semakin modern, konsumen semakin pintar, dan lebih memilih bahan berkualitas unggul yang memiliki nilai ergonomis dan estetika, bukan produk yang hanya memiliki nilai estetika, namun kurang dalam hal ergonomis, yang tentu saja dapat mempengaruhi tingkat safety-nya.

Demikian artikel dari saya, semoga bermanfaat, semoga perekonomian di Indonesia dapat segera pulih, dan semoga pandemi Covid-19 segera berlalu. ingat untuk selalu jaga kesehatan, taati peraturan pemerintah di tengah pandemi Covid-19, dan salam sehat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun