Mohon tunggu...
Hanantyo Wahyu Saputro
Hanantyo Wahyu Saputro Mohon Tunggu... Guru - Rakyat Biasa

Guru di SMK Bina Taruna Masaran Sragen

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Shadow Economy: Sebuah Prevalensi

28 Mei 2020   09:22 Diperbarui: 28 Mei 2020   09:24 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ekonomi merupakan salah satu hal pokok yang harus dipenuhi manusia semasa hidup. Bagaimana kebutuhan perut, pakaian, dan juga tempat tinggal tidak bisa terlepas dari unsur ekonomi, meskipun ada yang mengatakan bahwa jaman manusia purba belum ada uang juga hidup. 

Tapi ekonomi tidak hanya semata tentang uang, namun bisa juga berupa cara untuk pemenuhan kebutuhan, bisa juga dengan barter, atau bahkan hanya sekedar kepercayaan, seperti pada saat jaman purba, ketika manusia berburu bersama dengan berbekal kepercayaan, bahwa masing-masing mempunyai peran dalam keberhasilan perburuan, intinya sama tentang pemenuhan kebutuhan.

Namun pengertian ekonomi ini juga sudah mengalami "evolusi", dimana saat ini bisa dikatakan pemenuhan ekonomi itu 99% adalah dalam bentuk kapital, unsur-unsur lain seperti kepercayaan hanya tersisa yang 1%. 

Untuk pemenuhan ekonomi secara mikro, tentu saja kelancaran UMKM sangat vital, sedangkan untuk ekonomi secara makro impor dan ekspor, dan juga pemasukan pajak adalah yang amat sangat krusial. Seperti pajak, dimana pungutan "memaksa" ini adalah salah satu penyokong perekonomian sebuah negara, dimana gaji Pegawai Negeri, Gaji Anggota Dewan, pembangunan struktur dan infrastruktur tentu saja mengandalkan pemasukan pajak. 

Di negara maju tingkat pajak bisa mencapai lebih dari separuh dari gaji pokok, nilai yang tentu saja tidak sedikit. Meskipun banyak juga sektor usaha yang masih lepas dari kewajiban membayar pajak, dikarenakan memamng ilegal dan selalu berkelit dari pengawasan, yang sering disebut dengan Shadow Economy.

Menurut dana Moneter Internasional atau IMF,Shadow Economy diebut juga dengan beberapa istilah lain, yaitu Underground Economy, Hidden Economy, Gray Economy, Black Economy, Informal Economy, Cash Economy, dan Unobserved Economy. Shadow Economy dapat diartikan sebagai aktifitas ekonomi yang dapat mempengaruhi perekonomian, namun tidak terdaftar, atau dengan kata lain pemasukan yang terjadi pada sektor informal. 

Di Indonesia sendiri tingkat Shadow Economy tergolong tinggi, dengan disokong salah satunya adalah begitu banyaknya tenaga kerja informal, seperti contoh tenaga buruh tani, bidang konstruksi dengan level lokal, dan banyak sektor lain. Masih banyak penerima upah yang belum mendaftarkan diri menjadi seorang wajib pajak. 

Fenomena yang ada saat ini di sekitar saya adalah bagaimana seseorang mengurus pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai perlengkapan saat pengajuan kredit, dan untuk yang berikutnya hampir tidak ada pelaporan keuangan.

Sebenarnya bagi saya tingkat pajak di Indonesia termasuk tidak begitu tinggi, sebagai contoh misalkan untuk pajak penghasilan pasal 21 tingkat pajak tertinggi adalah 30%, dibandingkan dengan Italia, dimana pajak atas perorangan dapat mencapai 51%, dan Amerika Serikat yang mencapai 39%. 

Bahkan negara Eropa seperti Perancis menerapkan pajak perorangan sampai dengan 59%, jumlah pajak yang sangat besar bukan? Sehingga di negara-negara tersebut, iasanya orang mempertimbangkan gaji berdasarkan pada Take Home Payment (Gaji Dibawa Pulang), dan bukan pada gaji pokok, seperti salah satu alasan seorang pemain Sepakbola asal Swedia, Zlatan Ibrahimovic yang memutuskan pindah dari Italia ke Spanyol adalah karena tingkat pajak di Spanyol lebih rendah daripada di Italia, meskipun pada saat itu gaji pokok di Italia lebih besar daripada di Spanyol.

Kembali lagi ke Shadow Economy, dimana sebenarnya disebabkan oleh banyaknya produksi ilegal, seperti peresedaran NAPZA, lalu juga Home Industry yang tidak terdaftar, seperti contohnya pembuatan produk tiruan (Atau sering disebut barang KW) merek-merek terkenal, dengan harga yang jauh lebih murah. 

Produk-produk yang ditiru itu seringkali saya lihat adalah sepatu, tas, dan pakaian. Produk KW kemungkinan besar tidak terdaftar secara resmi, karena akan berurusan dengan hukum. 

Selain produk-produk tiruan, juga ada beberapa produk yang memang tidak berijin, seperti contoh produk rokok yang tidak bercukai, yang sering saya jumpai pada kisaran tahun 2007, meskipun katanya masih ada, tapi saya sejak tahun 2007 belum pernah melihat sendiri ada produk rokok yang tidak bercukai, kecuali memang ada yang menjual tembakau eceran, yang dibungkus dengan kertas sigaret yang berijin. 

Belum lagi peredaran NAPZA dengan omzet yang diperkirakan mencapai triliunan Rupiah setiap tahun, dan tentu saja tidak membayar pajak. 

Bahkan di Amerika Serikat bisnis menjual ganja dilegalkan di beberapa negara bagian, yang tentu saja dengan alasan medis, dan pengkonsumsiannya yang juga diawasi dengan ketat, dengan salah satu contoh pengusaha ganja terkenal saat ini adalah mantan juara dunia sejati tinju kelas berat, Mike Tyson dengan Tyson Ranch-nya.

Dari penjelasan saya di atas dapat saya simpulkan bagaimana Shadow Economy dapat merugikan perekonomian negara secara makro, dimana pemasukan negara akan banyak berkurang karena masih banyaknya sektor ekonomi yang masih undetected, dan tentu saja tidak membayar pajak. 

Apabila masih ada yang beranggapan bahwa pajak itu adalah paksaan, maka saya mengatakan orang yang mengatakan hal tersebut adalah orang yang tamak. 

Bagaimana pajak itu digunakan juga untuk dana cadangan negara, seperti contoh ketika negara dalam kondisi terjepit secara ekonomi seperti pada saat terjadi bencana alam seperti pada saat Tsunami Aceh 2004, dan pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka dana cadangan tersebut dapat digunakan untuk memberikan logistik dan stimulus ekonomi kepada warga negara yang terdampak. 

Apabila negara tidak memiliki kas yang cukup karena pemasukan pajak yang rendah, maka negara akan berhutang, dan berhutang tentu saja membayar, yang tentu saja juga akan semakin membebani keuangan negara, dan apabila negara defisit, maka akan terjadi lingkaran setan ekonomi, yaitu kemiskinan.

Sebagai warga negara yang baik sudah seharusnya juga membayar pajak dengan tertib, karena pajak yang dibayarkan juga untuk kepentingan negara, jangan lagi beranggapan pajak hanya untuk dikorupsi, seperti kasus Gayus Tambunan. Pajak dialokasikan sebagaimana mestinya, apabila ada terjadi korupsi, itu hanya oknum saja, dan tidak dapat digeneralisasikan. 

Dan apabila terjadi korupsi, negara juga mempunyai lembaga yang menangani kasus tersebut, dan kita sebagai warga negara sebaiknya berprasangka baik terhadap setiap lembaga yang ada di negara ini, dan tentu saja dengan tetap mengawasi, dan melaporkan bila memang ada penyelewengan terhadap kewenangan, diantaranya penyalahgunaan uang negara.

Jangan sampai Shadow Economy menjadi prevalensi, hanya karena memikirkan "kantong" sendiri, sedangkan banyak warga negara lain yang mebutuhkan dana yang diantaranya didapatkan dari sektor pajak. Demikian dari saya, semoga artikel saya bermanfaat, ingat untuk tetap jaga kesehatn, taati peraturan Pemerintah selama pandemi Covid-19, dan tetap semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun