Mohon tunggu...
Hanantyo Wahyu Saputro
Hanantyo Wahyu Saputro Mohon Tunggu... Guru - Rakyat Biasa

Guru di SMK Bina Taruna Masaran Sragen

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Arseto Solo, Indigenous Football Club

30 April 2020   10:24 Diperbarui: 30 April 2020   10:24 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada jaman dahulu, Indonesia memiliki Liga Sepakbola Utama yang disingkat dengan Galatama yang dimulai pada tahun 1979,berjalan berdampingan dengan liga sepakbola tim amatir yang dikenal dengan Kejuaraan Nasional Perserikatan yang terlebih dahulu berdiri, yaitu pada tahun 1930, dengan tim yang masih eksis sampai sekarang ini, yaitu Persebaya Surabaya.

Kemudian pada tahun 1994 Galatama dan Perserikatan di"merger" menjadi Divisi Utama Liga Indonesia atau dikenal dengan Liga Dunhill (mengingat disponsori oleh produk rokok Dunhill).

Liga Dunhill  diikuti oleh 34 klub, dan dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup barat dan grup timur, dengan masing-masing grup terdiri dari 17 klub. Juara pada tahun pertama adalah Persib Bandung yang mengalahkan Petrokimia Putra Gresik dengan skor 1-0 di final.

Namun dalam artikel ini saya mengulas salah satu klub yang sebenarnya pada musim pertama Liga Dunhill hanya finish di posisi ke-7 wilayah barat.

Mengapa mengulas Tim asal Kota Solo ini? jawabannya adalah karena tim ini terdiri dari 100% pemain lokal, dan banyak dari mereka menjadi punggawa di Tim Nasional Indonesia, seperti Ricky Yacobi, Miro Baldo Bento, Rochy Putiray, Edy Tjong, dan Sudirman.

Bahkan Rochy Putiray dan Sudirman adalah punggawa Tim Nasional Indonesia terakhir kali meraih medali emas Sea Games 1991 di Filipina dengan mengalahkan "seteru abadi" yaitu Thailand dengan skor 4-3 lewat adu penalti.

Sekedar mengulas klub Arseto Solo, beridiri di Solo, Jawa Tengah oleh putra Soeharto (Presiden Republik Indonesia pada saat itu), yaitu Sigid Harjoyudanto. Bermarkas di Stadion Sriwedari (sekarang Stadion R. Maladi) yang juga merupakan Venue untuk Pekan Olahraga Nasional 1948.

Klub ini memiliki keteguhan dalam menjaga seluruh pemainnya harus merupakan produk lokal, dengan tujuan untuk mengoptimalkan potensi putra daerah, daripada pemain impor.

Meskipun prestasi Arseto Solo menurun pada Liga Dunhill 2 hanya mampu finish di peringkat 13 dari 16 klub di Divisi Barat, akan tetapi Arseto tetap memiliki perwakilan di Tim Nasional Indonesia, diantaranya Agung Setyabudi dan Rochy Putiray, dan untuk Rochy mencetak hattrick ke gawang Kamboja pada saat menang 8-0 di ajang Pra Piala Dunia 1998 Zona Asia yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, yang sekarang berubah nama menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno. 

Namun akhirnya awan kelam menyelimuti Indonesia, krisis moneter yang melanda pada tahun 1998 "merontokkan" banyak sektor, hingga berujung pada mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan, selain itu chaos terjadi di beberapa Kota, diantaranya Kota Solo, sehingga Divisi Utama Liga Indonesia terpaksa harus dihentikan, dan Arseto pun ikut bubar, dengan alasan finansial.

Pemain Arseto yang berlabel bintang akhirnya mencari pelabuhan baru, Rochy pindah ke Persijatim, Agung Setyabudi dan I Komang Putra pindah ke PSIS Semarang yang ikut mengantarkan menjadi kampiun pada musim 1998-1999 dengan mengalahkan Persebaya Surabaya dengan skor 1-0 lewat gol tunggal "Maradona Purwodadi" Tugiyo.

Melalui tulisan ini saya ingin menekankan bahwa dibutuhkan klub yang mau dan mampu mengembangkan pemain lokal asli, toh dengan pemain lokal kita menjadi juara Sea Games 1991, tidak hanya dengan solusi instan dengan naturalisasi, yang (maaf) sudah tergolong terlalu "uzur", sehingga "masa pakai"nya pun sangat singkat.

Saya berharap hadir "Arseto-arseto" baru yang mampu memberikan sumbangsih terhadap akademi muda pemain lokal, sehingga Tim Nasional Sepakbola Indonesia menjadi tim yang tidak hanya kuat secara tim, namun juga memperhatikan unsur karakter kebangsaan, dengan memiliki "Starting Indigenous Eleven".

Demikian tulisan saya, semoga bermanfaat, dan apabila ada kesalahan redaksi dalam penulisan saya mohon untuk dikoreksi, namun apabila ada tulisan saya yang menyinggung beberapa pihak, saya mohon maaf. Sekian dari saya, jaga kesehatan, jangan lupa bahagia, dan sukses selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun