Pada jaman dahulu, Indonesia memiliki Liga Sepakbola Utama yang disingkat dengan Galatama yang dimulai pada tahun 1979,berjalan berdampingan dengan liga sepakbola tim amatir yang dikenal dengan Kejuaraan Nasional Perserikatan yang terlebih dahulu berdiri, yaitu pada tahun 1930, dengan tim yang masih eksis sampai sekarang ini, yaitu Persebaya Surabaya.
Kemudian pada tahun 1994 Galatama dan Perserikatan di"merger" menjadi Divisi Utama Liga Indonesia atau dikenal dengan Liga Dunhill (mengingat disponsori oleh produk rokok Dunhill).
Liga Dunhill diikuti oleh 34 klub, dan dibagi menjadi 2 grup, yaitu grup barat dan grup timur, dengan masing-masing grup terdiri dari 17 klub. Juara pada tahun pertama adalah Persib Bandung yang mengalahkan Petrokimia Putra Gresik dengan skor 1-0 di final.
Namun dalam artikel ini saya mengulas salah satu klub yang sebenarnya pada musim pertama Liga Dunhill hanya finish di posisi ke-7 wilayah barat.
Mengapa mengulas Tim asal Kota Solo ini? jawabannya adalah karena tim ini terdiri dari 100% pemain lokal, dan banyak dari mereka menjadi punggawa di Tim Nasional Indonesia, seperti Ricky Yacobi, Miro Baldo Bento, Rochy Putiray, Edy Tjong, dan Sudirman.
Bahkan Rochy Putiray dan Sudirman adalah punggawa Tim Nasional Indonesia terakhir kali meraih medali emas Sea Games 1991 di Filipina dengan mengalahkan "seteru abadi" yaitu Thailand dengan skor 4-3 lewat adu penalti.
Sekedar mengulas klub Arseto Solo, beridiri di Solo, Jawa Tengah oleh putra Soeharto (Presiden Republik Indonesia pada saat itu), yaitu Sigid Harjoyudanto. Bermarkas di Stadion Sriwedari (sekarang Stadion R. Maladi) yang juga merupakan Venue untuk Pekan Olahraga Nasional 1948.
Klub ini memiliki keteguhan dalam menjaga seluruh pemainnya harus merupakan produk lokal, dengan tujuan untuk mengoptimalkan potensi putra daerah, daripada pemain impor.
Meskipun prestasi Arseto Solo menurun pada Liga Dunhill 2 hanya mampu finish di peringkat 13 dari 16 klub di Divisi Barat, akan tetapi Arseto tetap memiliki perwakilan di Tim Nasional Indonesia, diantaranya Agung Setyabudi dan Rochy Putiray, dan untuk Rochy mencetak hattrick ke gawang Kamboja pada saat menang 8-0 di ajang Pra Piala Dunia 1998 Zona Asia yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, yang sekarang berubah nama menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno.Â
Namun akhirnya awan kelam menyelimuti Indonesia, krisis moneter yang melanda pada tahun 1998 "merontokkan" banyak sektor, hingga berujung pada mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan, selain itu chaos terjadi di beberapa Kota, diantaranya Kota Solo, sehingga Divisi Utama Liga Indonesia terpaksa harus dihentikan, dan Arseto pun ikut bubar, dengan alasan finansial.
Pemain Arseto yang berlabel bintang akhirnya mencari pelabuhan baru, Rochy pindah ke Persijatim, Agung Setyabudi dan I Komang Putra pindah ke PSIS Semarang yang ikut mengantarkan menjadi kampiun pada musim 1998-1999 dengan mengalahkan Persebaya Surabaya dengan skor 1-0 lewat gol tunggal "Maradona Purwodadi" Tugiyo.