Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Mengapa Kita Bisa Bahagia?

3 Januari 2017   12:26 Diperbarui: 3 Januari 2017   12:41 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dalam buku Mimpi-mimpi Einsten | Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016

“Setiap orang berjalan sendiri, karena kehidupan masa silam tidak pernah bisa berbagi dengan masa kini. Setiap orang melekat pada satu waktu, melekat sendiri.” tulis Lightman (hlm. 47), dan saya membaca kalimat itu dengan realitas tersebut, dan saya juga bagian dari realitas itu, dan saya menghayatinya.

Saya sampai di Cisauk, dan bergumul dengan teman-teman, apa yang saya hayati tadi lamat-lamat di kepala saya.

Dan saya kembali ke Bekasi keesokan harinya, dan saya memanggil kembali yang lamat-lamat di kepala saya itu. Kini saya menikmati kalimat yang disusun buku itu, sungguh menakjubkan. Penuh kejutan dengan kalimat dan penggambaran yang dibangun. Bercerita tentang Swiss di awal tahun 1900-an dan hasrat seorang intelektual untuk memecah sebuah misteri kehidupan—misteri itu adalah waktu, dan terpendar melalui mimpi-mimpinya yang berkelebatan. Saya terbantun ke dalamnya, meski saya tetap awas terhadap situasi di mana saya membacanya: Jakarta abad ke-21 dan lebih tepatnya di lambung sebuah gerbong kereta-komuter.

Kulit wajah buku Mimpi-mimpi Einsten (1999) karya Alan Lightman | Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016
Kulit wajah buku Mimpi-mimpi Einsten (1999) karya Alan Lightman | Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016
Hal ini membikin saya kurang menghayati ‘waktu yang melingkar’ Lightman—waktu yang melingkupi dan lolos bersamanya. Sebab “Inilah dunia impuls. Dunia kesungguhan hati.” tulis Lightman.

Anda tahu, waktu di dalam lambung kereta-komuter ialah waktu yang bergegas ke depan. Mungkin frase ‘Hari esok adalah milik kita’ menggambarkan apa yang saya maksud. Saya tidak yakin. Kondisi tubuh yang lelah membuat sepanjang perjalanan—yang saya selingi dengan lelap karena kantuk—membuat saya kurang fokus dengan kalimat yang disusun mengejutkan, dan luput dengan simpul waktu dalam cerita tersebut.

Hingga, di jam-jam beralihnya tahun 2016 ke 2017, Anda tahu, saya kembali membaca Mimpi-mimpi Einsten—karena saya tidak berjodoh dengan Reuni Alan lightman yang tengah beredar itu.

“[...] jika membaca adalah perjalanan-tanpa-jalan-pulang, maka membaca-ulang sebuah buku yang pernah kita baca sebelumnya adalah sebuah perjalanan atas pengharapan cerita yang lain: seperti seorang flaneur yang berkelana di tempat yang sama pada waktu yang berbeda,” tulis saya tempo hari. “Saya harus katakan bahwa membaca-ulang, bagi saya, adalah sejenis permainan antara ingatan dan kenangan yang kerap melingkupi perjalanan literer saya: antara yang-di dalam buku/teks dan yang-di luar buku/teks.”

Jadi, sebagaimana saya tulis di atas, kondisi pembacaan selalu menentukan pembacaan itu sendiri. Itulah mengapa saya senang membaca-ulang sebuah buku.

Dalam hal Mimpi-mimpi Einsten, saya mencecap satu hal yang luput di pembacaan saya yang pertama. Yakni waktu yang melingkar.

Saya takjub dengan kalimat berikut: “Andaikan waktu adalah soal kualitas, dan bukan kuantitas, seperti cahaya malam yang menaungi pepohonan, saat bulan naik dan menyisiri garis-garis pohon. Waktu hadir, tetapi tidak bisa diukur.” (hlm. 93). Sehingga “Beberapa orang berusaha melakukan kuantifikasi terhadap waktu, demi mengurai waktu, membedah waktu. Mereka berubah menjadi batu.” (hlm. 96).

Olehnya keabadian adalah sebuah lelucon. Anda perlu menimpuk orang yang berujar ingin ‘Hidup seribu tahun lalu’ dengan sepatu boots. Anda tahu, “Tak seorang pun merdeka. Seiring waktu, orang berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan agar dapat menempuh kehidupan milik sendiri adalah dengan kematian.” (hlm. 92).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun