“Iya, Nak. Sekarang tidur yak, sini Paman dongengin tentang tokoh wayang yang kamu pegang itu, namanya Gatotkaca. Gatotkaca main bola....”
"Enggak mau Paman. Sekarang aku yang mau cerita, dan Paman harus dengerin. Paman ngoceh mulu, enggak haus Paman?”
Saya melongok dan memandang bocah yang usianya 17 bulan itu. Saya membayangkan Dafi benar-benar mengatakan itu kepada saya. Saya harus tahu diri, bahwa anak-anak tidak selemah dan sebodoh yang saya kira.
“Nak...”
“Paman diam dong! Aku mau mulai cerita nih...”
Kemudian Dafi ngoceh dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Bahasa yang hanya mengeluarkan suara ‘Mooo.... Tuh.... Huuhh.... Gaakk…’ dan sebagainya. Tapi dari raut mukanya saya menduga ia sedang bercerita tentang Gatotkaca main bola, dan kemudian diteriaki bocah-bocah di pinggir jalan; “Om Telolet Om...” lalu Gatotkaca menendang bola dengan sangat kuat, ‘Jebreeet’, sehingga bola itu melayang di langit, dan saat melayang itulah bola itu menghasilkan bunyi ‘Telolet’ dan bolanya rebah lalu pecah, dan bocah bahagia.
“Paman, enggak perhatikan ceritaku ya?”
Saya terdiam. Anda tahu, saya masih ngelindur.
“Kenapa orang dewasa begitu sih. Aku musti nangis dulu baru mereka bisa ngerti apa yang aku mau. Aku enggak mau jadi orang dewasa, ah...”
Mukanya tampak kecewa.
Saya masih diam, dan tetap ngelindur.