Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Karena Orang Dewasa Selalu Bikin Susah Anak-anak!

28 Desember 2016   15:46 Diperbarui: 28 Desember 2016   16:04 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016

Ohya, aku ada utang tulisan nih untuk adikmu, Kyya. Kamu punya saran apa yang menarik untuk dituliskan kepada Kyya?

*

Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
PADA FEBRUARI 1942 Sjahrir masih di Banda Neira. Sehari sebelumnya Nippon menyerang Ambon, dan beberapa jam kemudian bom dijatuhkan. Sebuah pesawat MLD Catalina—pesawat canggih yang dapat rebah di atas air laut. Pesawat itu berputar-putar mencari landasan untuk mendarat. Bunyi berisik membangunkan penduduk kampung. Kemudian pesawat yang ukurannya kecil itu mendarat di sebuah teluk. Seorang lelaki yang kurus dan tinggi, sebagai kopilot pesawat, dan seorang yang perawakannya serupa sebagai perwira Belanda, berjalan bergegas menuju tempat tinggat Sjahrir dan Hatta. Kedua tahanan politik itu (yang sebetulnya ditahan di Banda Neira bersama sejumlah tokoh lain, seperti Tjipto dan Iwa) harus segera meninggalkan Banda Neira.

“Tidak ada waktu yang lama, Tuan. Hanya satu jam,” begitu pesan perwira Belanda itu.

Hatta bergegas dan tergopoh mengepak buku-bukunya yang bejibunitu sebanyak 16 peti. Sjahrir memutuskan meninggalkan koleksi buku dan mesin jahitnya, dan memilih membawa ketiga anak angkatnya, meski salah satunya berumur masih tiga tahun.

Mereka berjalan ke tempat pesawat terparkir. Sesampainya di sana, timbul masalah yang harus segera dipecahkan: ruang pesawat Calina terlampau kecil untuk menampung lagi 2 orang dewasa, 3 anak-anak, dan 16 peti berisi bejibunbuku. Akhirnya Hatta mengalah. 3 anak-anak itu diangkut ke dalam pesawat Calinan, sedangkan 16 peti bukunya ditinggalkan—untuk selama-lamanya, dan Hatta masih menyesalkan keputusannya itu hingga empat puluh tahun kemudian.

Setelah pesawat Calina itu berada di langit selama tiga puluh menit, keadaan di bawahnya berubah—penduduk berhamburan, anak-anak berlari-lari, situasi kacau, karena bom jatuh bagai buah kelapa yang dilemparkan dari kaki langit. Itu hari yang nelangsa bagi Sjahrir dan Hatta setelah enam tahun melewati berbagai cerita dan pengalaman bersama 7.000 penduduk Banda Neira, dan 3 anak-anak yang diangkat menjadi anak Sjahrir—yang tidak pernah kembali ke kampung halamannya lagi. []

*Tyo Prakoso, pembaca dan perajin tulisan. Berkegiatan di @gerakanaksara. Penjual buku yang ‘asik dan perlu dibaca’ di Kedai Buku Mahatma. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun