Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Karena Orang Dewasa Selalu Bikin Susah Anak-anak!

28 Desember 2016   15:46 Diperbarui: 28 Desember 2016   16:04 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk Dua keponakanku; Dafi Putra Prakoso dan Dzakyya Talita Prakoso—Jangan lekas dewasa, Nak!

ENAM TAHUN SEBELUM 1 Februari 1942—Sjahrir dan Hatta baru saja tiba di Banda Neira dari pembuangan di Boven Digul, Papua. Mereka tinggal di sebuah rumah bekas pegawai perkebunan. Rumah itu luas dengan ruang dalam berukuran 50 meter persegi, dan beranda 40 meter panjangnya. Kebun terbentang di belakang rumah itu. Angin teluk kerap membanjur rumah itu sepanjang hari.

Sejak hari pertama kedatangannya sebagai orang buangan, mereka disambut oleh warga dan anak-anak yang riang dan gembira. Mereka selalu mengunjungi rumah warga dan teman. Bila tidak sedang membaca atau menulis surat, Sjahrir akan duduk di beranda rumah itu menikmati angin sore yang membasuh mukanya.

Bila ada anak-anak yang kebetulan lewat di depan rumahnya, Sjahrir akan menegur: “Hendak bermain? Hendak belajar?”

Sjahrir selalu merasa senang dan bahagia selama di Banda Neira.

“Di sini benar-benar firdaus,” tulis Sjahrir tahun 1936.

Pada 12 Oktober 1936, kepada istrinya, Maria, yang tinggal di Belanda, Sjahrir menulis: “Pukul setengah lima pagi, saya sudah bangun dan siap, dan pukul setengah enam, kami sudah berada di laut. Kami mengatur sendiri layar dan kemudi. Selama tiga jam, perahu melaju, karena angin yang membantu. Melintasi kebun laut, menyaksikan matahari terbit yang gemilang. Kemudian mendarat kembali. Di pantai kami menghabiskan sisa hari dan makan.”

Ia seolah merasakan hidup yang tidak dipatok oleh ‘tujuan’ dan dikejar-kejar oleh ‘manfaat’ dengan segala yang dipikirkan dan dilakukannya.

Syahdan, sejumlah anak-anak Banda Neira datang ke rumahnya untuk belajar, bermain, dan bergurau, Mereka berkerumun di beranda rumah. Hingga satu kejadian kecil terjadi saat ‘bermain sambil belajar’ itu berlangsung: salah seorang anak menjatuhkan vas kembang, pecah, dan air vas itu mengenai buku Hatta—orang yang menganggap buku lebih penting ketimbang tubuh perempuan, dan selalu memperlakukannya rapi dan telaten. Hatta marah.

Akhirnya Sjahrir memutuskan pindah ke sebuah pavilium kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah itu. Agar ia bebas bermain dan belajar bersama anak-anak itu. Pavilium itu milik saudagar keturunan Arab yang dulu kaya, bernama Baadila. Ia menitipkan anak-anaknya untuk dididik Sjahrir—dua perempuan dan dua laki-laki, bernama: Lily dan Mirna, Does dan Des—tiga dari mereka yang kelak diangkat menjadi anaknya. Sjahrir menjadi bagian keluarga itu.

Pada pavilum itu, Sjahrir serupa guru yang telaten mengajarkan beragam pengetahuan, matematika, sejarah, sastra, ilmu bumi, dan cerita-cerita kocak, tentu saja.

Ia membelikan sebuah mesin jahit untuk membuatkan baju untuk keempat anak Baadila. Ia juga memerlukan untuk berlangganan majalah mode, agar dapat mencontoh pakaian untuk anak-anak itu. Ia seperti bapak. Seperti ibu. Ia memasak dan menjahit. Sjahrir senang berenang di teluk, berlari di gunung, Ia kerap mengajak anak-anak itu untuk berkelana mengunjungi tempat yang ia belum pernah kunjungi.

“Mereka, di sini, adalah teman terbaik yang saya miliki,” tulis Sjahrir Februari 1936.

*

Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016
Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016
“PAMAN, INI KURSI kok asik. Meski busanya sudah jebul,”

“Itu kursi tempatku biasa muksa, Nak. Di kursi itu aku biasa bersua orang-orang jatmika yang masih percaya kalau hidup itu musti dilalui dengan riang dan gembira.”

“Berarti kalau aku duduk di sini, aku juga bisa muksa, riang dan gembira? Ngomong-ngomong, ‘muksa’ itu apa sih, Paman? Aku anak kecil enggakngerti istilah ndakik itu...”

“Muksa itu seperti kamu tidur di ayunan kain batik itu. Dan kamu bisa pergi kemanapun yang kamu mau saat tertidur. Dan bangun dengan tubuh yang lebih segar dan ceria. Paham, Nak?”

Enggak,”

Enggak papa. Kamu akan paham pada waktunya...”

“Paman janji harus jelaskan lagi kalau aku sudah gedeyak...”

“Iya, Nak. Sekarang tidur yak, sini Paman dongengin tentang tokoh wayang yang kamu pegang itu, namanya Gatotkaca. Gatotkaca main bola....”

"Enggak mau Paman. Sekarang aku yang mau cerita, dan Paman harus dengerin. Paman ngoceh mulu, enggak haus Paman?”

Saya melongok dan memandang bocah yang usianya 17 bulan itu. Saya membayangkan Dafi benar-benar mengatakan itu kepada saya. Saya harus tahu diri, bahwa anak-anak tidak selemah dan sebodoh yang saya kira.

“Nak...”

“Paman diam dong! Aku mau mulai cerita nih...”

Kemudian Dafi ngoceh dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Bahasa yang hanya mengeluarkan suara ‘Mooo.... Tuh.... Huuhh.... Gaakk…’ dan sebagainya. Tapi dari raut mukanya saya menduga ia sedang bercerita tentang Gatotkaca main bola, dan kemudian diteriaki bocah-bocah di pinggir jalan; “Om Telolet Om...” lalu Gatotkaca menendang bola dengan sangat kuat, ‘Jebreeet’, sehingga bola itu melayang di langit, dan saat melayang itulah bola itu menghasilkan bunyi ‘Telolet’ dan bolanya rebah lalu pecah, dan bocah bahagia.

“Paman, enggak perhatikan ceritaku ya?”

Saya terdiam. Anda tahu, saya masih ngelindur.

“Kenapa orang dewasa begitu sih. Aku musti nangis dulu baru mereka bisa ngerti apa yang aku mau. Aku enggak mau jadi orang dewasa, ah...”

Mukanya tampak kecewa.

Saya masih diam, dan tetap ngelindur.

“Nak telolet Nak...”

Dafi masih tampak kecewa.

*

Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
Sajak penyair itu betul, Nak.

Ibu mana yang menimang-nimang anaknya sambil berkata, "Cepatlah tua, anakku!”— [Jokpin, 2012].

Tidak ada, percayalah... Jika pun ada, mungkin ia Ibukota yang tidak memiliki ibu cinta kepada warganya. Sebab, seperti pernah kubisikkan kepadamu saat kau sibuk dengan susu kotak itu, karena musti merelakan susu ibumu untuk adik perempuanmu—menjadi tua itu memang enggak asik.

Dan, kau akan tahu, Nak, masalah di jagat raya ini, seringkali buah tingkah laku orang dewasa, dan selalu anak-anak sepertimu yang menanggung pilunya.

Jangan lekas tua, Nak.

Temani Pamanda menikmati hidup hingga kepalaku mulai beruban dan aku tahu bahwa genangan di jalanan itu bukanlah genangan karena air matamu.

Omong-omong, kamu ingin jadi penyair, Nak?

Tidak usah yak, terlampau banyak penyair tapi masa saja sedikit puisi yang bisa membuatmu sumringah saat membacanya, meski, sesekali, bolehlah kamu coba-coba bikin puisi yang kau tulis di kisi-kisi tangis dan tidurmu.

Ohya, aku ada utang tulisan nih untuk adikmu, Kyya. Kamu punya saran apa yang menarik untuk dituliskan kepada Kyya?

*

Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
Sumber: Dokumen Pribadi | @cheprakoso 2016
PADA FEBRUARI 1942 Sjahrir masih di Banda Neira. Sehari sebelumnya Nippon menyerang Ambon, dan beberapa jam kemudian bom dijatuhkan. Sebuah pesawat MLD Catalina—pesawat canggih yang dapat rebah di atas air laut. Pesawat itu berputar-putar mencari landasan untuk mendarat. Bunyi berisik membangunkan penduduk kampung. Kemudian pesawat yang ukurannya kecil itu mendarat di sebuah teluk. Seorang lelaki yang kurus dan tinggi, sebagai kopilot pesawat, dan seorang yang perawakannya serupa sebagai perwira Belanda, berjalan bergegas menuju tempat tinggat Sjahrir dan Hatta. Kedua tahanan politik itu (yang sebetulnya ditahan di Banda Neira bersama sejumlah tokoh lain, seperti Tjipto dan Iwa) harus segera meninggalkan Banda Neira.

“Tidak ada waktu yang lama, Tuan. Hanya satu jam,” begitu pesan perwira Belanda itu.

Hatta bergegas dan tergopoh mengepak buku-bukunya yang bejibunitu sebanyak 16 peti. Sjahrir memutuskan meninggalkan koleksi buku dan mesin jahitnya, dan memilih membawa ketiga anak angkatnya, meski salah satunya berumur masih tiga tahun.

Mereka berjalan ke tempat pesawat terparkir. Sesampainya di sana, timbul masalah yang harus segera dipecahkan: ruang pesawat Calina terlampau kecil untuk menampung lagi 2 orang dewasa, 3 anak-anak, dan 16 peti berisi bejibunbuku. Akhirnya Hatta mengalah. 3 anak-anak itu diangkut ke dalam pesawat Calinan, sedangkan 16 peti bukunya ditinggalkan—untuk selama-lamanya, dan Hatta masih menyesalkan keputusannya itu hingga empat puluh tahun kemudian.

Setelah pesawat Calina itu berada di langit selama tiga puluh menit, keadaan di bawahnya berubah—penduduk berhamburan, anak-anak berlari-lari, situasi kacau, karena bom jatuh bagai buah kelapa yang dilemparkan dari kaki langit. Itu hari yang nelangsa bagi Sjahrir dan Hatta setelah enam tahun melewati berbagai cerita dan pengalaman bersama 7.000 penduduk Banda Neira, dan 3 anak-anak yang diangkat menjadi anak Sjahrir—yang tidak pernah kembali ke kampung halamannya lagi. []

*Tyo Prakoso, pembaca dan perajin tulisan. Berkegiatan di @gerakanaksara. Penjual buku yang ‘asik dan perlu dibaca’ di Kedai Buku Mahatma. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun