Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seratus Tahun Mengingat Allepo

27 Desember 2016   16:16 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:33 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi | 2016

SAYA MENDENGAR KABAR bahwa Dubes (Duta Besar) Rusia untuk Turki ditembak saat membuka sebuah pameran di Ankara, Turki, oleh orang yang mengenakan jas hitam dan fotonya bisa sampean lihat di media seperti Time atau The Guardian, hampir bebarengan dengan saya rampung membaca cerpen Gabo berjudul “Eva di Dalam Tubuh Kucingnya” yang terhimpun di dalam buku Menggali Sumur Dengan Ujung Jarum: Segenggam Kisah dan Ceramah Para Maestro Sastra Dunia (Tia Setiadi (penerjemah), 2015). Saya senang membaca itu sebelum tidur dan waktu bangun tidur, laiknya minum air mineral sebelum dan sesudah bangun tidur. Sebab, sampean tahu, bahwa tubuh selalu membutuhkan cairan dalam menjalankan aktivitasnya.

“Akan terjadi Perang Dunia III,” begitu komentar seorang teman yang terpampang di linimasa akun Pesbuk saya.

Saya harap tidak seburuk itu, meski itu berkaitan dengan situasi Allepo yang akhir-akhir ini mencapai titik didih, dan Rusia, diyakini, menjadi simpul sumbunya. Saya tidak bisa membayangkan perang yang menjangkau banyak kawasan kembali terjadi di muka bumi—ketika saya masih belum juga bisa mengatasi momok kebencian di linimasa masa akun Pesbuk saya. Mengatasi kebencian (yang akarnya ialah kebodohan kita) di media sosial saja belum becus, apalagi Perang Dunia. Duh, gusti... semoga dijauhkan dari hal tersebut.

Saya tidak ingin berpikir semenyeramkan itu. Saya ingin berpikir, betapa apiknya bila apa yang terjadi di Ankara itu dijadikan kalimat awal sebuah cerita--misalnya, tentang sebuah kota yang paralel dengan kota lain di belahan dunia lain, dan dua kota itu didera insomnia dan amnesia terhadap sebuah kebodohan dan kebencian, hingga seorang pemuda berusaha untuk memecah itu semua dengan cara membunuh banyak manusia yang disangkanya biangkeladi semua masalah.

Sumber: Dokumen Pribadi | 2016
Sumber: Dokumen Pribadi | 2016
Kira-kira begini bagian awal cerita itu:

|| Andrey G. Karlov tersungkur dengan darah mengucur, lelaki berjas hitam itu baru saya memuntahkan peluru dari pistolnya ke dada Karlov dan matanya mendelik dan mengacungkan sebuah pistol ke hadirin galleri yang tampak kocar-kacir mengamankan diri.

“Allah Maha Besar!” seru lelaki, masih dengan mata mendelik. “Hentikan sekarang juga, atau akan lebih banyak korban lagi dari pihak kalian. Sekali lagi, jangan melupakan Allepo!”

Dua menit kurang, Karlov bangun dengan darah masih menetes dari lubang di dadanya, dan ia tampak bugar dan tidak tampak kekurangan apapun kecuali lubang di dadanya itu.

“Hei, anak muda, apa sampean lupa bahwa kita hidup di dunia yang menjadikan kata ‘kedamaian’ berarti ‘kau tidak mungkin membunuhku karena Tuhan telah menghapus kata kematian dalam kehidupan manusia’, dan sampean tahu, itulah mengapa aku sekarang berusia 137 tahun. Paham, Kisanak?”

Lelaki Berpistol itu menatap Karlov dan mengacungkan pistolnya lagi. Tapi tidak ada bunyi 'Dor' lagi. Dengan pistol yang mengacung ia tampak mengingat sesuatu. Mungkin mengingat Allepo. Kita tidak tahu. Hingga bertahun-tahun pemuda itu bersaksi di depan sebuah persidangam bahwa ia telah menyodomi seluruh bokong anjing di dua kota tersebut karena berpikir anjing-anjing itulah yang telah memerkosa ibunya yang kemudian menjadi gila. ||

Saya yakin sampean bisa membuatnya lebih asik dan kenes. Itulah mengapa saya lampirkan foto bagian awal cerpen Gabo. Sedekat yang saya tahu, Gabo adalah penulis yang selalu berpikir lebih lama untuk memutuskan kalimat awal yang mana yang dipilih. Sebab, bagi Gabo, kalimat awal adalah laboratorium. Dan saya yakin, sampean bisa mengikuti jalan setapak itu.

Namun, bagaimanapun sampean mengembangkan kalimat awal dan ceritanya, saya berharap cerita tersebut tetaplah diberi judul “Seratus Tahun Mengingat Allepo”. Karena dengan begitu, sampean berkemungkinan besar meraih nobel sastra sekaligus perdamaian. Dan tentu sampean merupakan orang pertama yang mampu melakukan itu.

Warbyasa, kan? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun