Oleh: Tyo Prakoso
“Passing! Passing! Overlap! Ya, terus! Lebih cepat temponya. Passing! Hei, jangan bengong! Fokus! Terus passing!”
KALIMAT itu keluar dari mulut seorang lelaki tambun yang terus memberi intruksi dan mengarahkan gerak bocah-bocah pada sebuah kuns yang tersusun sedemikian rupa agar sesi kombinasi umpan pendek dan terobosan itu berjalan sesuai strategi.
Setelah kelayaban tak tentu arah, saya tak sengaja sampai ke lapangan bola di dekat terminal bus kota itu. Saya parkir sepeda motor, dan mengambil tempat duduk di salah satu sisi lapangan, pada bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Awalnya saya ingin menikmati waktu sore sambil merampungkan novel Hemingway yang saya bawa. Tapi pemandangan di hadapan saya mengubahnya.
Dari kejauhan saya menyaksikan bocah-bocah yang riang-gembira latihan dan melahap setiap sesi yang diintruksikan pelatihnya. Melihat polah bocah-bocah itu saya terkenang masa-masa dulu saya mengenggam dan merawat cita-cita untuk menjadi pemain bola—sampean tahu, tekun datang ke lapangan dan melahap setiap sesi pelatih adalah satu-dua upaya dari sekian banyak upaya kami merawat cita-cita itu.
Saban 2 kali seminggu saya latihan, yang jarak lapangannya lumayan jauh dari rumah saya. Saya mesti naik angkot dan jalan kaki sekitar 2 km untuk sampai ke lapangan itu. Saya pun sama seperti bocah-bocah itu, selalu riang-gembira saat ada di lapangan dengan sepatu dan kaos latihan yang sudah dikenakan—saya yakin, saat itulah kami melupakan hal-hal yang menyebalkan dalam hidup kami, seperti PR matematika, hapalan surah pendek, hingga ibu-bapak yang kerap bertengkar di rumah yang penyebabnya kami tak mengerti. Sampean tahu, hanya dengan bermain bola lah kami merasakan hidup yang menyenangkan, dan kebahagiaan yang tidak ada penggantinya. Pun begitu, sebagaimana saya dulu, saya yakin bocah-bocah itu datang dan bergembira di sore ini untuk terus menggenggam dan merawat cita-citanya. Dan saya berdoa, mereka tidak seperti saya.
Di sela-sela intruksi pelatih, saya lihat bocah-bocah itu sesekali bercanda; ada bocah yang menggebog dengan sepakan bola yang keras ke salah seorang temannya yang sedang menghadap ke suatu arah, tak ayal bocah itu kaget, dan kemudian berusaha membalasnya, dan mereka saling berkejaran. Kejar-kejaran itu usai saat peluit pelatih berbunyi melerai aksi bocah itu. Artinya bocah itu mesti kena hukuman;push-up sebanyak 20 kali. Dasar bocah! Latihan pun dilanjutkan.
Saya juga punya kenangan soal begituan; saat itu lapangan becek, karena hujan semalam. Di sela-sela intruksi, saya iseng memeperi mulut teman saya dengan tanah yang menempel di pul sepatu saya. Teman saya marah, saya pun kejar-kejaran. Pelatih saya lihat. Peluit ditiup, kami dihukum. Push-up.
Saat yang ditunggu-tunggu itu tiba: gim!
Sebelumnya bocah-bocah itu dikumpulkan dan diberi kesempatan minum. Saat itulah pengarahan dilakukan. Karena jumlah bocah-bocah itu lumayan banyak, gim pun dilakukan beberapa kali. Tim pertama main dengan mengenakan rompi, tim kedua tidak, dan seterusnya.
Sampean tahu, saat gim inilah saat di mana kami, mungkin lebih tepatnya saya, merajut cita-cita, dan membayangkan diri seolah menjadi Zidane, Del Piero, Maldini, Veron, Cafu, atau Buffon. Kami main dengan serius, meskipun seringkali teknik yang kami pelajari pada sesi-sesi yang diintruksikan pelatih menguap begitu saja--bagaimana cara kombinasi umpan-umpan pendek, menggiring melewati lawan, menjegal dengan sliding takle, perangkap offside, atau menutup ruang-tembakan, bertukar dengan imaji yang menguasai kami, tentang pemain idola yang kami tonton dan sosoknya tertempel pada sebuah poster di kamar kami. Kami menggiring laiknya Giggs, mengumpan laiknya Zidane, menjegal laiknya Maldini dll. dkk... imaji yang membuat kami lupa tentang PR matematika, hapalan surah-surah pendek, ibu-bapak yang kerap bertengkar di rumah dsb... imaji yang sangat menyenangkan, tentu saja.