Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Cita-cita

31 Agustus 2016   14:42 Diperbarui: 31 Agustus 2016   14:55 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tyo Prakoso

Passing! Passing! Overlap! Ya, terus! Lebih cepat temponya. Passing! Hei, jangan bengong! Fokus! Terus passing!”

KALIMAT itu keluar dari mulut seorang lelaki tambun yang terus memberi intruksi dan mengarahkan gerak bocah-bocah pada sebuah kuns yang tersusun sedemikian rupa agar sesi kombinasi umpan pendek dan terobosan itu berjalan sesuai strategi.

Setelah kelayaban tak tentu arah, saya tak sengaja sampai ke lapangan bola di dekat terminal bus kota itu. Saya parkir sepeda motor, dan mengambil tempat duduk di salah satu sisi lapangan, pada bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Awalnya saya ingin menikmati waktu sore sambil merampungkan novel Hemingway yang saya bawa. Tapi pemandangan di hadapan saya mengubahnya.

Dari kejauhan saya menyaksikan bocah-bocah yang riang-gembira latihan dan melahap setiap sesi yang diintruksikan pelatihnya. Melihat polah bocah-bocah itu saya terkenang masa-masa dulu saya mengenggam dan merawat cita-cita untuk menjadi pemain bola—sampean tahu, tekun datang ke lapangan dan melahap setiap sesi pelatih adalah satu-dua upaya dari sekian banyak upaya kami merawat cita-cita itu.

Saban 2 kali seminggu saya latihan, yang jarak lapangannya lumayan jauh dari rumah saya. Saya mesti naik angkot dan jalan kaki sekitar 2 km untuk sampai ke lapangan itu. Saya pun sama seperti bocah-bocah itu, selalu riang-gembira saat ada di lapangan dengan sepatu dan kaos latihan yang sudah dikenakan—saya yakin, saat itulah kami melupakan hal-hal yang menyebalkan dalam hidup kami, seperti PR matematika, hapalan surah pendek, hingga ibu-bapak yang kerap bertengkar di rumah yang penyebabnya kami tak mengerti. Sampean tahu, hanya dengan bermain bola lah kami merasakan hidup yang menyenangkan, dan kebahagiaan yang tidak ada penggantinya. Pun begitu, sebagaimana saya dulu, saya yakin bocah-bocah itu datang dan bergembira di sore ini untuk terus menggenggam dan merawat cita-citanya. Dan saya berdoa, mereka tidak seperti saya.

Di sela-sela intruksi pelatih, saya lihat bocah-bocah itu sesekali bercanda; ada bocah yang menggebog dengan sepakan bola yang keras ke salah seorang temannya yang sedang menghadap ke suatu arah, tak ayal bocah itu kaget, dan kemudian berusaha membalasnya, dan mereka saling berkejaran. Kejar-kejaran itu usai saat peluit pelatih berbunyi melerai aksi bocah itu. Artinya bocah itu mesti kena hukuman;push-up sebanyak 20 kali. Dasar bocah! Latihan pun dilanjutkan.

Saya juga punya kenangan soal begituan; saat itu lapangan becek, karena hujan semalam. Di sela-sela intruksi, saya iseng memeperi mulut teman saya dengan tanah yang menempel di pul sepatu saya. Teman saya marah, saya pun kejar-kejaran. Pelatih saya lihat. Peluit ditiup, kami dihukum. Push-up.

Saat yang ditunggu-tunggu itu tiba: gim!

Sebelumnya bocah-bocah itu dikumpulkan dan diberi kesempatan minum. Saat itulah pengarahan dilakukan. Karena jumlah bocah-bocah itu lumayan banyak, gim pun dilakukan beberapa kali. Tim pertama main dengan mengenakan rompi, tim kedua tidak, dan seterusnya.

Sampean tahu, saat gim inilah saat di mana kami, mungkin lebih tepatnya saya, merajut cita-cita, dan membayangkan diri seolah menjadi Zidane, Del Piero, Maldini, Veron, Cafu, atau Buffon. Kami main dengan serius, meskipun seringkali teknik yang kami pelajari pada sesi-sesi yang diintruksikan pelatih menguap begitu saja--bagaimana cara kombinasi umpan-umpan pendek, menggiring melewati lawan, menjegal dengan sliding takle, perangkap offside, atau menutup ruang-tembakan, bertukar dengan imaji yang menguasai kami, tentang pemain idola yang kami tonton dan sosoknya tertempel pada sebuah poster di kamar kami. Kami menggiring laiknya Giggs, mengumpan laiknya Zidane, menjegal laiknya Maldini dll. dkk... imaji yang membuat kami lupa tentang PR matematika, hapalan surah-surah pendek, ibu-bapak yang kerap bertengkar di rumah dsb... imaji yang sangat menyenangkan, tentu saja.

Gim usai. Tim kalah harus menggendong bolak-balik lapangan tim yang menang. Lalu latihan ditutup peregangan otot dan merapikan semua perlengkapan, termasuk gawang kecil yang mesti dikembalikan ke tempatnya.

Apa yang saya saksikan serupa dengan apa yang dulu saya jalani. Saya seperti melihat fatamorgana diri saya di antara bocah-bocah itu. Tapi saya lekas sadar bahwa saya tidak berada di sana dan saya sedang duduk di bawah pohon—karena seusai latihan bocah-bocah itu lekas mengambil tas dan berjalan ke arah orang-orang yang menjemputnya, sebagian perempuan yang mengendarai sepeda motor. 

Kostum, kaos kaki, dan sepatu yang penuh tanah di pu itu masih dikenakannya saat mereka nangkring di jok motor dan bergegas. Itu tak pernah saya lakukan—atau atau lebih tepatnya alami. Saya tak pernah diantar atau dijemput latihan bola—meskipun saya tahu orang tua mendukung saya, hanya saja mereka tak yakin anaknya akan menjadi apa yang dicita-citakannya. 

Bahkan ibu saya sering mengomel bila saya pulang main bola dan sepatu bola saya pul-nya penuh tanah--karena itulah hampir selalu seusai main/latihan bila pul sepatu saya penuh tanah saya mesti membersihkannya dengan sebuah ranting pohon yang disikat-sikat ke arah pul itu. Saya tak berani pulang sebelum tanah di pul sepatu itu hilang. Dan itu tak hanya saya yang melakukannya, juga teman-teman yang lain.

Satu per satu bocah-bocah itu nangkring di jok motor jemputannya masing-masing. Saya masih duduk di bawah pohon itu. Langit mulai gelap. Sebetulnya saya malas beranjak, mengingat lalu-lalang kendaraan di jalanan yang gila. Tapi saya melangkah juga. Di langkah-langkah itulah, saya mengingat cerita getir teman saya, Muhamad Iqaamatuddin, yang sejengkal lagi menjadi apa yang saya cita-citakan, beliau eks-pemain Persija Jakarta junior, rekan seperjuangannya banyak yang sekarang berkiprah di sepakbola nasional, tentang Adam Alis, gelandang tim Barito Putra dan Timnas, yang paling saya ingat dari ceritanya—tentang terjal dan busuknya kisah pesepakbolaan kita.

Anjing betul.

Ingatan itu yang muncul saat saya mengenang masa-masa semangat merawat cita-cita.

Saya berharap apa yang diceritakan Iqaam tidak dialami oleh bocah-bocah itu. Bagaimanapun bocah-bocah itu yang tengah merawat cita-citanya adalah juga harapan (sepakbola) bangsa ini. Sudah cukup saya (dan entah berapa banyak seusia saya) yang mesti menanggalkan cita-cita itu. Jikalau pun terpaksa, kelak, bocah-bocah itu mesti menanggalkan cita-citanya juga, saya harap ia menanggalkannya dengan sadar-sesadar-sadarnya, akan bakat dan kemampuan yang memang tak memadai. Bukan karena.... ah, anjing betul!

Saat akan bergegas, saya melihat lelaki tambun yang tadi terus memberi intruksi di tengah lapangan. Ia menyulut rokok dan berjalan ke arah motornya yang terparkir tak jauh dari motor saya. Di saat itulah saya lihat perutnya lebih besar dari yang saya lihat dari kejauhan tadi. Asap terus mengepul dari mulutnya. Ia pun bergegas. Babi! Betul babi buntung! Pada (sosok) perut buncit itulah bocah-bocah tadi menyandarkan cita-citanya, agar bakat dan cita-citanya terus terasah, juga pada keberuntungan, tentu saja.

*Tyo Prakoso,kurator di kedai @gerakanaksara. Pembaca da perajin (tulisan). Buku pertamanya Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun