Oleh: Tyo Prakoso
MEMBACA "Pohon-pohon Sesawi", bagi saya, adalah kelana-literer yang memaksa saya terkenang dengan kisah dan cerita yang telah saya lewati: gagal menjadi pemain bola, 2 kali gagal masuk sekolah negeri, gagal studi filsafat di Yogya, juara lomba lari marathon tingkat TK, keserempet motor waktu bolos sekolah, minum tuak campur duren sampai teler, bolos ngaji ke rental ps... dll, dkk, dsb. Dan berhasil membuat saya nelangsa: betapa belum-seberapanya saya mengenal (ke)hidup(an).Â
Saya rasa, novel ini ditulis sebagai upaya napak-tilas seorang pemimpin umat (yang sepanjang kisah dan ceritanya dipenuhi ketekunan dan keyakinan membela rakyat) yang resah di hari tuanya. Wajar bila di sana banyak kegetiran "yang berguguran". Banyak doa dan harapan yang dipanjatkan. Melimpah saran dan petuah yang dihaturkan. Tapi, seperti biasa, layaknya "Burung-burung Manyar" atau "Rumah Bambu", karya terdahulu penulisnya (yang sudah saya baca), semua itu dihadirkan tidak berupa dogma; tanpa pilihan menjadi hitam atau putih, baik atau buruk, bermanfaat atau sia-sia... ada keluwesan di sana. Ada kejenakaan, yang berkelindan dengan satire (khas, seperti dua buku yang sudah saya baca tadi).
Memang menjadi tua adalah kutukan. Bila kisah dan cerita yang terlewatkan itu lebih banyak menyiratkan kesedihan dan kekecewaan ketimbang kesenangan dan kebanggaan. Seperti Romo Mangun, si penulis novel ini, seperti juga Rahadi alias Yunus alias Yohannes alias Yunus alias Yohannes alias... ya itulah pokoknya, si tokoh utama novel ini, bergelut dengan cerita dan kisah yang telah terlewat itu (novel ini, sebagaimana bisa diketahui pada pengantarnya, adalah 'kerja terakhir' Romo Mangun sebelum wafat. Disusun berdasarkan "interpretasi" Jokpin, selaku peenyunting, orang yang sama untuk "Rumah Bambu", sebab banyak coretan dan koreksian tulisan tangan yang kurang jelas dan tidak yakin apakah karya ini sudah rampung atau belum). Saya pikir, mungkin kelak kita seperti itu juga: sampai di sini saya senang metafor "Pohon Sesawi" untuk kelana hidup manusia (suci).Â
Sesawi adalah tanaman yang digunakan Isa sebagai metafor Kerajaan Allah. Dalam tradisi katholik pemimpin umat ibarat manusia-manusia yang menebar benih biji-biji sesawi, tekun merawat dan menjaganya, hingga pohon-pohon sesawi tumbuh dengan rindang, dan menjadi sangkar burung-burung, lalu menjadi Kerajaan Allah, di mana-mana.
"Pohon-pohon Sesawi" karya Romo Mangun adalah ikhtiar menapak-tilas setiap cerita dan kisah yang telah terlewati; berharap ada biji-biji sesawi yang kita tebar di sepanjang cerita dan kisah itu. Saya ingat selarik firman-Nya, yang kerap diucapkan guru ngaji saya dulu: sampaikanlah kebaikkan mesti sebiji ayat pun.
Sekali lagi, bukankah menjadi tua adalah kutukan yang niscaya? Oleh karena itu, seperti ujaran kawan-kawan: panjang umur pemuda. Terus tebar biji-biji sesawi, di mana-mana, tanpa menjadi dogma dan kehilangan kejenakaan. Karena Tuhan itu Maha-guyon, dan tak perlu dibela, kan? Sebab masih banyak hal yang harus diperjuangkan dan dikerjakan pemuda. Begitu. []
Â
Jatikramat, Juni 2016
Postscript; saya membaca "Pohon-pohon Sesawi" melalui aplikasi I-JAKARTA yang cukup bermanfaat.
*Tyo Prakoso, penulis dan mahasiswa sejarah UNJ. Buku pertamanya berjudul Busssum dan Cerita yang Mencandra (2016).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H