Mencintai Che ini pada akhirnya adalah sebuah kelindan yang indah dan puitis tentang cinta, keluarga, pengkhianatan, revolusi, orang buangan, masa lalu yang samar, mimpi, ikon legendaris, dan ketidakjelasan—ya, saya harus katakan begitu, memang. Novel ini toh pada akhirnya tak menjadi jelas. Kita tak tahu siapa tokoh utama, Si “aku”, gadis itu, yang memang tanpa nama itu, kita juga tidak tahu kenapa ibunya menuliskan cerita bohong tentang hubungannya dengan Che, bahkan kita tidak tahu apakah Teresa benar ibunya.
Jika membaca Mencintai Cheadalah sebuah ketidakjelasan yang memang indah dan puitis, maka seperti itulah saya kerap memandang masa lalu—setidaknya masa lalu yang berkaitan dengan kehidupan saya. Dan membaca-ulang adalah cara saya untuk menyapa antara hal yang-di-luar-buku/teks dengan yang-di-dalam-buku/teks—itu juga mengapa saya senang menuliskan secarik kalimat di lembar pertama pada setiap buku yang baru saya beli dan akan saya baca, dan membubuhkan tanggal dan tanda tangan—ketika membaca pun saya senang membuat catatan-catatan kecil/komentar/tanggapan di setiap lembar yang saya kira menarik-penting-atau sejenisnya. Kau tahu, dialog antara yang-di dalam buku/teks dan yang-di luar buku/teks adalah seni tersendiri saat membaca-ulang.
Akhirnya, saya sering merasa, bahwa masa lalu adalah kesumiran yang kita coba buat garis demarkasi yang tegas antara yang hitam dan putih, baik dan buruk, indah dan jelek, menyenangkan dan menyedihkan, dll, dkk, dsb… padahal masa lalu—melalui kenangan dan ingatan yang berkelebatan—acapkali menguasai kita tanpa peduli garis demarkasi itu. Di titik inilah, Pram tepat: manusia memang kerap tak kuasa dengan kenangannya… []
Keterangan Buku:
Judul Buku : Mencintai Che
Penulis : Ana Menendez
Penerbit : Mata Angin, 2005
Hlm : 275 hlm.
Jatikramat, Juni 2016
*Tyo Prakoso, penulis dan mahasiswa Sejarah UNJ. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016). Tulisan ini pertama kali tayang DI SINI.