Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#Ngabookburit: Menyapa Masa Lalu, Mencari Ibu, Mencintai Che...

24 Juni 2016   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2016   14:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

che-che-guevara-21468924-1985-2560-576cdd4ed59273c30762baf3.jpg
che-che-guevara-21468924-1985-2560-576cdd4ed59273c30762baf3.jpg
Wanita tua itu tak menjawab. Ia bercerita tentang lukisan-lukisan yang terhampar di setiap sudut rumahnya itu. Hingga akhirnya, mereka menemukan mayatnya di pagi hari, polisi tidak mau repot melaporkannya,kata wanita tua itu. Kemudian wanita itu menunjukkan sebuah lukisan Che Guevara yang terbuat dari arang. Itu karya terakhir Teresa, ketika cat sulit ditemukan. Ia menggunakan arang.Gadis itu hanya duduk di sofa tua, dan menatap lukisan arang itu. Melalui cerita wanita tua itu juga gadis itu tahu bahwa cerita yang dibacanya pada surat-surat kusam itu mesti diragukan kebenarannya.

Mencintai Che ini pada akhirnya adalah sebuah kelindan yang indah dan puitis tentang cinta, keluarga, pengkhianatan, revolusi, orang buangan, masa lalu yang samar, mimpi, ikon legendaris, dan ketidakjelasan—ya, saya harus katakan begitu, memang. Novel ini toh pada akhirnya tak menjadi jelas. Kita tak tahu siapa tokoh utama, Si “aku”, gadis itu, yang memang tanpa nama itu, kita juga tidak tahu kenapa ibunya menuliskan cerita bohong tentang hubungannya dengan Che, bahkan kita tidak tahu apakah Teresa benar ibunya.

Jika membaca Mencintai Cheadalah sebuah ketidakjelasan yang memang indah dan puitis, maka seperti itulah saya kerap memandang masa lalu—setidaknya masa lalu yang berkaitan dengan kehidupan saya. Dan membaca-ulang adalah cara saya untuk menyapa antara hal yang-di-luar-buku/teks dengan yang-di-dalam-buku/teks—itu juga mengapa saya senang menuliskan secarik kalimat di lembar pertama pada setiap buku yang baru saya beli dan akan saya baca, dan membubuhkan tanggal dan tanda tangan—ketika membaca pun saya senang membuat catatan-catatan kecil/komentar/tanggapan di setiap lembar yang saya kira menarik-penting-atau sejenisnya. Kau tahu, dialog antara yang-di dalam buku/teks dan yang-di luar buku/teks adalah seni tersendiri saat membaca-ulang.

Akhirnya, saya sering merasa, bahwa masa lalu adalah kesumiran yang kita coba buat garis demarkasi yang tegas antara yang hitam dan putih, baik dan buruk, indah dan jelek, menyenangkan dan menyedihkan, dll, dkk, dsb… padahal masa lalu—melalui kenangan dan ingatan yang berkelebatan—acapkali menguasai kita tanpa peduli garis demarkasi itu. Di titik inilah, Pram tepat: manusia memang kerap tak kuasa dengan kenangannya… []

Keterangan Buku:

Judul Buku : Mencintai Che

Penulis : Ana Menendez

Penerbit : Mata Angin, 2005

Hlm : 275 hlm.

Jatikramat, Juni 2016

*Tyo Prakoso, penulis dan mahasiswa Sejarah UNJ. Buku pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016). Tulisan ini pertama kali tayang DI SINI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun