Selamat tinggal, tapi kau akan selalu
bersamaku, kau akan selalu ada dalam setiap
darah yang mengalir dalam diriku.
Gadis membaca berulang kali larik puisi itu. Ia tatap foto kuning itu. Saya merasakan peluh di bagian itu. Kau tahu, saya membayangkan gadis itu tengah bergelut dengan masa lalunya yang masih buram. Masa lalu yang masih menjadi bayang-bayang. Di sini saya harus katakan, betapa cerdiknya Ana bermain dengan simbolisme: surat, foto dan puisi adalah komponen sendu yang bertaut dengan masa lalu (baca: sejarah). Tapi saya tak berani membayangkan kisah itu terjadi pada kehidupan saya. Dengan awal yang begitulah cerita Mencintai Che bermula.
Gadis itu geram dengan kakeknya. Selanjutnya, ia berkelana dari satu kota ke kota yang lain. Hingga suatu waktu ia mendengar kabar kakeknya meninggal dunia. Ia pulang. Dan hanya ada rumah yang kosong dan jendela. Buku. Juga taman di belakang rumah.
Gadis itu berkelana lagi. Sampai suatu siang, saat leha-leha ia mendapati sebuah paket-misterius yang berbentuk kotak. Ia membukanya; foto-foto kusam dan kertas-kertas yang tertulis tangan, lagi. Kertas itu adalah surat-surat ibunya; Teresa de la Landre, seorang pelukis yang menikahi lelaki bernama Calixto de la Landre. Melalui surat-surat itulah gadis itu mengetahui tentang “darah yang mengalir dalam diriku” di Havana, Kuba. Melalui surat-surat itu juga ia mengetahui bahwa ibunya menjalin hubungan terlarang dengan Ernesto Che Guevara, el komandante Revolusi Kuba. Di titik inilah cerita Mencintai Che adalah perjalanan seorang anak mencari ibu, dan mencoba menyapa masa lalunya yang kelam dan suram itu.
Bagi saya, membaca-ulang Mencintai Che adalah perjalanan saya mengenang dan mengingat idiom sosok Che Guevara sebagai pahlawan Kuba kelahiran Argentina dan lelaki yang melankoli. Saya mengenal Che melalui poster yang menempel di tembok kamar abang saya; sesosok lelaki dengan topi-baret-bintang-merah, memanggul senjata dan menghisap cerutu—yang kemudian, melalui cerita-cerita abang saya, saya tahu sosok lelaki dengan sorot mata tajam itu bernama Ernesto Che Guevara; yang masih lekat di kepala saya mengenai cerita abang saya ialah perihal kata “Che” yang menempel di nama itu. “CHE itu sebutan brountuk orang Argentina,” kata abang saya—jika ingatan saya bisa dipercaya, saat itu saya kelas 2 SMP. Bertitik-pijak cerita abang saya itu, saya berusaha mencari lebih jauh tentang sosok lelaki itu. Hingga suatu hari—jika ingatan saya masih dipercaya, saya kelas 3 SMP—saya mampir ke toko buku di salah satu pusat pembelanjaan, dengan uang hasil menabung saya membeli sebuah buku berjudul Dari Sierra menuju Havanakarya Che Guevara (Narasi, 2007)—saya teringat buku ini ketika menyaksikan film CHE (2008) beberapa waktu lalu. Melalui buku itu saya mengetahui sosok Che yang melankoli dan gemar membaca puisi; Che yang menjadi panutan prajurit-prajuritnya, dan tetap membaca buku filsafat di tengah medan perang sambil menikmati kopi dan menghisap cerutu. Mungkin, sejak itulah saya mencintai Che… meskipun saya tahu, saya takkan pernah bisa menjadi Che Guevara.
Karena Che juga lah niat saya melanjutkan studi filsafat di Jogja saya canangkan selepas lulus SMK. Saya keukeuh, menolak sejumlah tawaran pekerjaan yang mampir ke saya untuk bekerja di restoran dan hotel. Saya keras kepala. Saya tak acuhkan keinginan orang tua saya; bekerja atau melanjutkan studi di STP (Sekolah Tinggi Pariwisata) Bali atau Bandung! Saya tetap keras kepala. Saya menyisihkan uang dan menabung di celengan ayam tanah liat untuk bayar tes dan berangkat ke Jogja. Saya tak acuhkan juga seremonial dan acara wisuda (yang ditunggu-tunggu kedua orang tua saya, setelah mengeluarkan banyak uang menyekolahkan anaknya di jurusan masak-memasak itu) kelulusan SMK. Saya memutuskan berangkat ke Jogja, saya ingat dua buku tentang Che itu saya bawa juga di ransel saya. Akhirnya sejarah mencatat, saya gagal—dan saya tahu, ini bukan pengalaman kegagalan pertama saya perihal riwayat pendidikan saya. Itu hari-hari yang sangat berat bagi saya. Hari-hari dimana saya harus memanggul semua resiko atas pilihan yang telah saya ambil. Saya terus membaca dan membaca. Saya belajar tentang apa saja. Saya tahu diri, saya pun bekerja paruh-waktu. Uang saya sisihkan lagi. Saya berniat tes kembali. Filsafat pilihan pertama dan sejarah—saya harus katakan dan ucapkan terima kasih bahwa ini saran guru sejarah sekolah saya—pilihan kedua. Pun sejarah mencatat, saya ditolak di filsafat, tapi diterima di sejarah, di Jakarta, memang. Ketika saya saya membaca-ulang Mencintai Chemasa-masa itulah yang terlintas di benak saya.
Gadis itu rampung membaca surat-surat ibunya. Ia pergi ke Havana, Kuba, mencari ibunya, menyapa masa lalunya. Berminggu-minggu di Havana ia tak menemukan jejak-jejak ibunya. Hingga di suatu siang, seorang wanita tua, yang mengaku pernah bekerja dengan Teresa dan menunjukkan selarik puisi yang sama pernah ditunjukkan kakek gadis itu tempo waktu, menghampirinya dan mengatakan bahwa ia tahu dimana ibunya. Mereka berbincang di rumah wanita tua itu. Rumah itu penuh lukisan.
“Dimana ibuku?” kata gadis itu.