Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dicari: Perempuan Berkepala Kelinci yang Hilang Bersama Lelaki Berkepala Babi

25 Mei 2016   09:10 Diperbarui: 25 Mei 2016   09:19 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tyo Prakoso

—Untuk ia yang enggan kusebutkan namanya,

Pembaca yang budiman, bila kalian membaca surat-orang-hilang ini, segeralah klik berbagi di akun media sosial kalian, agar teman-teman yang lain bisa membaca dan mengetahui persoalannya juga; dan bila kalian menemukan teman saya—Shanny dan Revi, nama sebenarnya, orang yang dimaksud dalam surat-orang-hilang—segeralah hubungi saya atau beri komentar di surat-orang-hilang ini. Karena banyak orang yang khawatir terhadap mereka yang hilang begitu saja selama tujuh hari ini.

Sebelumnya, saya ingin memberitahu kepada kalian mengapa akhirnya mereka hilang dan membuat begitu banyak orang yang khawatir. Cerita ini saya dapatkan dari salah seorang teman yang terakhir melihatnya di sebuah gedung dekat stasiun kereta di pinggir kota Jakarta; ia melihatnya di tengah hiruk-pikuk warga Jakarta yang baru saja pulang dari aktivitasnya. 

Jika cerita itu menjadi tidak jelas, maafkan, itu lebih dikarenakan saya tidak begitu mahir menuliskan ceritanya. Padahal melalui penjelasannya, yang diceritakannya kepada saya beberapa jam yang lalu, begitu terang. Sehingga saya tahu cerita bagaimana mereka hilang selama tujuh hari ini. Sekali lagi, maafkan atas kemampuan saya yang buruk menuliskan ceritanya ini.

Jadi begini: kalian tahu, saat itu Shanny sedang menunggu hujan reda di salah satu koridor bangunan di sebuah pinggir kota. Letaknya tak jauh dari sebuah stasiun kereta. Mungkin Shanny baru saja menggunakan kereta. Ada masker berwarna merah muda menutup hidung dan mulutnya. Tas ranselnya menempel di bagian dadanya. 

Jam telah menunjukkan pukul 8 malam lewat 45 menit. Revi belum juga datang. Padahal keduanya berjanji bertemu pada pukul 7. Shanny sabar menunggu. Itu bisa terlihat dari gerak tubuhnya yang masih ceria. Meskipun Shanny sudah lebih 3 jam menunggu. Hingga jam menunjukkan pukul 10 lewat 5 menit. Lalu-lalang orang dari dan menuju stasiun perlahan-lahan surut, meskipun tetap riuh. Akhirnya Revi datang dengan sebuah payung yang melindungi tubuhnya dari derasnya hujan. Revi datang dari sisi barat posisi Shanny menunggu. Shanny menatap Revi dengan tatapan penuh-tanya. Tapi Revi lekas menggandeng tangan Shanny, tidak mengacuhkan tatapan penuh-tanya itu. Seperti orang yang terburu. Shanny dan Revi berada di naungan payung yang berwarna hijau-tua. Ukuran lingkar payung itu cukup besar; mungkin sebentangan lengan orang dewasa. Itu membuat tubuh mereka tidak basah meskipun hujan dan tempiasnya cukup deras. Mereka melangkah sambil berpegangan tangan. Ada genangan air di jalan. Kaki mereka menapak selangkah demi selangkah melewati keriuhan stasiun dan jalanan Jakarta yang semakin malam. Melewati genangan air, mengarah ke sebuah jalan yang di ujungnya ada sebuah tikungan. Keriuhan mulai reda. Keriuhan ada di punggung mereka. Jalan agak menanjak. Ada arus air yang mengalir. Jalan itu cukup lengang. Tampaknya jalan itu jalan menuju ke sebuah perumahan, atau perkampungan, atau sejenisnya; yang mungkin di bagian depan jalan itu terdapat sebuah portal yang terbuat dari besi dengan cat hitam-putih bergaris-garis, selaiknya portal yang terdapat di depan jalan sebuah perumahan, atau sejenisnya. Mereka terus melangkah, dan terus berpegangan tangan. Hingga sampai di sebuah tikungan, dan mereka hilang...

Itu terjadi 7 hari yang lalu. Tepat di tanggal 26 Maret yang lalu,kenang teman saya itu seusai menceritakannya beberapa jam yang lalu kepada saya. Sejak itulah keduanya tak pernah lagi terdengar kabar atau diketahui keberadaannya,katanya lagi.

Hingga saya mendapat sebuah pesan pendek, yang saya duga dari nomor salah satu keluarga dari keduanya. Begini tulis pesan pendek itu; anak saya hilang, dari sepekan yang lalu. Saya sudah hubungi berkali-kali tapi tak ada jawabannya. Teleponnya tidak aktif. Saya ingin hubungi teman-temannya, tapi saya tak pernah menyimpan nomor telepon teman-temannya. Untung saja, saat saya mengecek kontak telepon saya, ada nama kontak telepon yang tertulis ‘Teman Shanny’. Saya ingat tempo hari Shanny, anak saya, meminjam telepon saya untuk membalas pesan temannya. Karena pulsa teleponnya habis, katanya. Maka karena itu saya segera menelpon anda. Tapi 3, 4, sampai 5 kali saya telepon tidak diangkat. Mungkin anda sedang sibuk, pikir saya. Oleh karena itu saya segera mengirimkan pesan ini. Saya harap anda membacanya, dansegeramengabari keberadaan anak saya. Saya berharap anda mengetahui keberadaan anak saya yang telah hilang selama sepekan ini. Salam.

Itu pesan pendek—meskipun tak elok disebut ‘pendek’—yang saya duga berasal dari orang tua Shanny. Jujur saja, saya membaca pesan itu saat terbangun dari tidur; kira-kira pukul 10 pagi tadi—saya harus ceritakan juga kepada kalian bahwa saya terbiasa tidur larut dan terbangun siang, dan jam 10 itu masih terhitung pagi, biasanya saya bangun pukul 12 atau 1 siang; saya tak ingat lagi karena apa saya bangun sepagi itu tadi, mungkin karena ingin buang air besar. Yang jelas, sewaktu saya membacanya, saya membutuhkan berkali-kali membaca dan sambil memukul-mukul kepala saya; untuk membuktikan bahwa saya tidak mimpi.

 Saat yakin bahwa saya tidak mimpi, saya dihantui perasaan yang bungah; perasaan yang tak bisa kau definisikan. Sebab di saat kau baru saja bangun tidur dan membuka mata, dan membaca pesan pendek yang dikirim oleh orangtua Shanny itu, kepalamu seperti terbentur benda tumpul di bagian ubun-ubunnya; sebab kau seperti terduga menyulik anak perempuan orang, atau membawa kabur tanpa izin orang tua. Ya, begitulah pokoknya. Meskipun kita tahu, bukan begitu maksud pesan pendek orang tua Shanny itu. Yang jelas, saya tak tahu harus berbuat apa. Atau lebih tepatnya, saya tak tahu harus membalas apa terhadap pesan orangtua Shanny itu. Dan itu terjadi belum 24 jam yang lalu. Karena itulah saya menuliskan surat-orang-hilang ini. Agar pembaca yang menemukan atau melihat Shanny dan Revi dapat menghubungi saya. Dan saya dapat membalas pesan orangtua Shanny itu.

Pembaca, kiranya saya juga perlu memberikan sedikit penjelasan tentang Shanny dan Revi. Minimal tentang ciri-ciri fisik yang mungkin sangat membantu kalian jika melihat seseorang dengan ciri-ciri tersebut.

Shanny adalah perempuan yang berkepala kelinci. Usianya kira-kira 22 tahun. Tingginya 170-an sentimeter. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ia senang mengenakan baju berwarna biru. Untuk alasan mengapa kepalanya berubah menjadi kepala kelinci, saya punya ceritanya tersendiri. Begini: saat itu sore telah menjadi gelap. Tapi hujan belum turun. Di sebuah bangku kayu yang letakknya di bawah pohon kamboja liar, kami—saya, Shanny dan sejumlah teman-teman, yang saya kira tak perlu saya sebutkan namanya—sedang berbincang-bincang mengenai berbagai hal. 

Seorang teman, sebut saja namanya Bagja—bukan nama sebenarnya, identitas sebenarnya ada di tangan saya—mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami; apakah cinta harus memiliki?Kami semua tertawa. Termasuk Shanny. Kami—atau setidaknya saya—teringat lagu yang sudah klise itu. Tak ada cinta tanpa memiliki, karena kita bukan nabi yang setia meski disakiti,jawab saya. Semua terdiam. Termasuk Shanny. Untuk kemudian kami tertawa lagi. Tapi Bagja malah terdiam. Ia mengucapkan sebuah mantra kepada kami, kira-kira bunyinya begini; Huuaaaaaaa, awiwuaaaaa, huaaaa...dan masih panjang lagi, seperti ayat-ayat di kitab suci, mantra itu diucapkan sebanyak tiga kali, dengan nada yang berbeda-beda tepat di hadapan wajah kami yang sedang tertawa. Hingga kemudian kami terdiam. Dan kepala Shanny berubah menjadi kepala kelinci.

Bagja berhujjah, bahwa mantra yang diucapkannya tadi adalah sebuah mantra yang ia pelajari dari sebuah buku sakti yang berjudul Mulut Bisa Berdusta, Tapi Hati tak Pernah Bisa: Upaya Menemukan Cinta Sejati karangan Drs Saidin yang ditulis pada tahun 1948, sebulan setelah affairKomunis-Musso di Madiun, Jawa Timur, dan diterbitkan oleh penerbit partikelir. 

Dikatakan di buku itu, bahwa seseorang yang berbohong kepada kata hatinya, meskipun ia berusaha menutup-menutupinya, entah dengan tertawa atau sebuah senyum, kepalanya akan berubah menjadi kepala binatang yang dibencinya, jika mantra itu dibacakan di wajah mereka. Itu mengapa Bagja membaca mantra itu di wajah kami saat itu. Dan karena Shanny membenci kelinci, maka kepalanya berubah menjadi kepala kelinci. Untuk berapa lama? Bagja tidak tahu. Yang jelas, kata Bagja, buku itu mengatakan, bahwa kepalanya akan kembali menjadi kepala manusia dengan sendirinya, bila ia sudah jujur dengan kata hatinya. Dan sejak itulah Shanny menjadi perempuan berkepala kelinci. Hingga kejadian ia hilang selama tujuh hari ini.

Sementara Revi adalah lelaki yang berkepala babi. Usianya lebih muda satu tahun ketimbang Shanny. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya sudah meninggal dunia. Tapi ia tak juga akrab dengan ibunya. Mungkin itu mengapa ia begitu akrab dengan pensil, buku gambar dan gitar. Ia anak muda yang memiliki banyak talenta; menggambar, menulis hingga bermain alat musik. Hanya satu kelemahan dia: ia tak pernah bisa menekuni satu dari sekian banyak talenta yang dimilikinya. Untuk alasan mengapa ia berkepala babi, saya juga punya cerita tersendiri. Tapi cerita ini saya dengar dari salah seorang teman yang menjadi teman dekat Revi, namanya Azis—namanya sebenarnya, yang kebenaran ceritanya mungkin bisa kita pertanyakan.

Begini: suatu hari Azis dan Revi baru saja kelar latihan band dengan teman-temannya di sebuah studio musik tak jauh dari kampus. Mereka mampir di sebuah warung jamu. Tentu bukan untuk meminum jamu biasa. Tapi jamu yang luar biasa. Jamu yang bisa mendatangkan burung-burung kecil yang berputar-putar di atas kepala saat meminumnya dari sebuah sedotan di sebuah kantong kresek hitam. Mereka berbincang-bincang tentang apa saja. Sambil menikmati jamu yang luar biasa itu. Hanya Azis dan Revi yang tidak meminum jamu itu. Dan keduanya memang tak pernah meminum jamu luar biasa itu bila sedang berkumpul dengan teman-temannya. Hingga akhirnya terjadi sebuah keributan kecil, yang tak jelas apa penyebabnya; mungkin karena perempuan. Kemudian Toha—bukan namanya sebenarnya, identitas sebenarnya ada di tangan saya—melerai perkelahian itu. Kata Toha, perempuan ada untuk disakiti, jika ada laki-laki disakiti oleh perempuan, mungkin itu karena dua sebab. Satu, laki-laki yang kelewat tolol, atau dua, laki-laki itu seperti perempuan.Toha dan teman-temannya tertawa. Hanya Azis dan Revi (tentu saja) yang tidak. Ada burung-burung kecil mengitari kepala Toha dan teman-temannya. Karena diejek, apalagi diejek perihal perempuan, Revi melangkah meninggalkan teman-teman bandnya itu. Beberapa langkah, Azis bangkit dan mengikuti Revi. 

Pada langkah ke-7, saat ingin mengayunkan kaki kirinya, tiba-tiba kepala Revi berubah menjadi kepala babi. Azis yang sudah berjalan di sampingnya tidak menyadari perubahan itu. Baru di langkah ketika mereka ingin naik ke tangga penyebrangan, Azis menyadari bahwa kepala Revi berubah menjadi kepala babi. Azis kaget. Ia gemetar. Ia lekas berlari meninggal Revi yang kebingungan, sambil berteriak-teriak; babi-babi-babi. Sejak itulah kepala Revi berubah menjadi kepala babi. 

Usut-punya-usut—yang saya dengar dari cerita teman baik Toha yang juga temannya Azis—bahwa Toha mengirim sebuah tulah kepada Revi sesaat ia mengatakan kata-katanya tadi; Toha mengedipkan sebelah matanya sambil mendeham sebanyak tiga kali tepat garis lurus ke wajah Revi. Toha adalah anak seorang dukun di daerah Banten Selatan. Kepala babi—keterangan ini saya dengar dari mulut Toha sendiri—adalah simbol lelaki yang dijajah perempuan. Tulah itu akan hilang—ini yang saya tahu dari salah satu buku ajaib yang pernah saya baca di salah satu toko buku loak langganan saya—bila Revi bisa membuktikan bahwa ia bukan lelaki yang dijajah perempuan, atau lelaki yang menjajah perempuan. Sebab, disakiti atau menyakiti itu tak pernah mengenal perempaun atau lelaki. Kita semua bisa disakiti atau menyakiti, percayalah,begitu terang buku itu. Meski saya syak wasangka. Tapi yang jelas, sejak itu kepala Revi berubah menjadi kepala babi.

Pembaca yang baik, sekali lagi saya mohon, jika kalian menemukan Shanny perempuan yang berkepala kelinci dan Revi lelaki yang berkepala babi, maka segeralah komentar di surat-orang-hilang ini atau hubungi saya. Karena hilangnya mereka membuat banyak orang khawatir, terutama orangtua dan teman-temannya. Tapi, saya akan lebih senang bila kalian menemukan Shanny dan Revi tidak lagi berkepala kelinci dan babi. Sebab itu artinya Shanny sudah jujur dengan kata hatinya sendiri dan Revi tak pernah disakiti atau menyakiti.

Salam.

Agus Reges,

temannya Shanny dan Revi.

Jatikramat, Maret 2016

*Tyo Prakoso, Mahasiswa Sejarah UNJ, bergiat di komunitas @gerakanaksara dan Prosais tinggal di pinggir kota. Buku prosa pertamanya Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra(2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun