Hantu adalah subtil, dia hadir (being) sekaligus tidak tampak. Namun karena paradoksikalitas inilah orang merasa dicekam kengerian. Mereka yang terlanjur ketakutan harus menderita paranoia. Dan dalam keterdesakan itu, buru-buru mereka bayar militer dan politik demi menyumbat celah sekecil apapun yang berpotensi dilewati sang hantu.
Hantu ini sejatinya personifikasi gagasan filosofis Marx, yang melampaui Komunisme - bahkan Marxisme sekalipun. Dia tidak akan mati, dan akan selalu berpenampakkan (tajjali) selama gubuk kumuh masih dihuni si miskin, suara yang tertindas masih mengendap, selama para proletar terlunta-lunta di atas bumi dalam keterasingan (alienasi) yang seharusnya tidak terjadi.
Pemerintah pun hadir dengan wajah garang dan mata nyalang: segala aktivitas yang disinyalir berkonotasi mengarah ke “kiri-kirian” diringkus, diskusi-diskusi kritis menyoal problematika sosial dilabeli stigma negatif dengan dalil subversif, serta pemberangusan buku yang mengingatkan kita pada tradisi negara-negara totaliterianisme dahulu.
Negara yang hanyut euforia End of History Fukuyama ikut-ikutan paranoid. Sementara itu hantu Marxisme kegirangan. Sebab semakin getol mereka membasmi sang hantu, secara tidak langsung, semakin kuat hantu tersebut. Mungkin karena mereka tidak kunjung menyadari, hantu Marx senantiasa melekapi kaum tertindas (musthad’afin) masih tersebar di muka bumi. Upaya memusnahkan bayang-bayang Marx tidak ayal hanya mempertegas superioritas sang hantu. Padahal bila tidak ingin hantu Marx gentayangan, sederhana: bebaskan saja golongan tertindas, rakyat miskin dan kaum papa.
Apakah mereka tidak melakukan itu karena takut dituduh sosialisme yang terlanjur disematkan stigma oleh sejarah? Bila demikian, disinilah kita menemukan kebenaran dalam salah satu perusak tatanan dunia baru versi Derrida, bahwa Kapitalisme bakal selalu menuai kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Kita pun teringat Charles Humana, tokoh penyusun indeks Hak Asasi Manusia yang merupakan karya intelektual Barat. Dalam indeks Humana, kita mahfum bahwa liberalisme toh hanya melahirkan kebebasan politik dan sipil. Indeks itu telah mengabaikan hal-hal paling prinsipil: bebas dari kelaparan, bebas dari kemiskinan, bebas dari buta aksara, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang banyak tidak disebutkan.
Pada akhirnya bolehlah kita sebut hantu Marx sebagai danyang, hantu penjaga yang guyub. Dia hadir, sebagai suluh yang menyalakan sinar harapan di mata-mata orang miskin, kaum papa, mereka-mereka yang tertindas dan teralienasi dari pesta pora perampokan besar-besaran kapitalisme.
Hari ini, bisa saja kita tetap menyoal “ke manakah Marxisme?”, tanpa menutup kemungkinan kelak, kita kembali menelaah: “Ke manakah Kapitalisme?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H