Mohon tunggu...
Priyo Setioko
Priyo Setioko Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger, Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah seorang magician dan sering menulis berbagai macam artikel, pernah mendapatkan penghargaan di Adira Faces of Indonesia 2011 blog : www.setioko.web.id

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Penghargaan untuk Film Terjelek Indonesia, Haruskah Ada?

3 Oktober 2022   10:42 Diperbarui: 3 Oktober 2022   11:46 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Perindustrian film layar lebar maupun dokumenter yang diproduksi anak bangsa saat ini memang mulai bangkit kembali setelah dua tahun bioskop sempat mati suri akibat dampak bencana Global. 

Hal ini bisa kita lihat dari mulai ramainya penonton film-film lokal yang semakin ramai, kita ambil contoh salah satunya adalah KKN Dii Desa Penari, dimana jumlah penonton film yang tayang selama Lebaran 2022 mampu meraih penonton hampir mengalahkan Avengers End Game yang merupakan film Hollywood terlaris di Indonesia saat ini.

Meskipun demikian, hal ini bukanlah pertama kalinya didalam sejarah perfilman Indonesia kembali dan mampu meraih penonton dengan jumlah yang sangat banyak. 

Sebab, awal abad 20 atau sekitar akhir 1990-an hingga 2000 an Perfilman Indonesia sempat mampu bangkit setelah sebelumnya di hujani dengan berbagai macam film "Maaf" berdarah panas.

Di tahun-tahun tersebut kebangkitan film Tanah air ditandai dengan meledaknya film yang di sutradarai oleh Sineas muda sebut saja Mira Lesmana, Riri Riza, Upi, Joko Anwar, Rudi Soejarwo dengan hasil-hasil seperti Ada Apa Dengan Cinta, Petualangan Sherina, Daun Diatas Bantal, Realita Cinta Rock N Roll.

Jika kita telusuri secara dalam kebangkitan film Indonesia di akhir tahun 1990-an dimulai dengan adanya film Kuldesak yang tayang tahun 1997. Berdasarkan buku Sinema Indonesia Bangkit Lagi Setelah Mati Suri1 Sekitar Tahun 1997, beberapa sineas muda Indonesia yang terdiri dari Nan T. Achnas, Mira Lesmana, Riri Riza dan Rizal Mantovani membuat film dengan judul Kuldesak.

Format dari film Kuldesak terinspirasi dari The New York Stories, sebuah film trilogi yang di sutradarai oleh Woody Allen, Martin Scorsese dan Francis Ford Coppolla. Dengan penuturan dialog khas Pulp Fiction karya Queentin Tarantino  dengan banyaknya ucapan kata kasar yang khas.

Namun menjelang akhir 2000 an perfilman Indonesia kembali mengalami mati suri, hal ini di tandai dengan banyaknya film-film panas dengan background Pocong, Kuntilanak maupun hantu aneh lainnya. Sebut saja Arwah Kuntilanak Duyung, Dendam Pocong Mupeng, Suster Ngesot dan sebagainya.

Terlebih lagi di tahun 2011 dimana terjadi kisruh pajak MPAA yang tidak mau membayar pajak ke Indonesia, alhasil film-film Hollywood blockbuster ketika itu ditarik dan Bioskop Indonesia malah dihiasi dengan film-film Porno Indonesia.

Bioskop kembali hadir di akhir tahun 2011  dengan adanya film-film Hollywood yang dulu sempat di tunda, seperti Captain America The First Avengers, Transformers The Dark Moon dan sebagainya. Film Indonesia kembali hadir dengan adanay The Raid : Redemptions yang tayang di tahun 2012.

Hadirnya The Raid Redemptions ternyata membuka berkah lain bagi perfilman tanah air, sejumlah aktor tanah air mulai dilirik Hollywood, bahkan hingga saat ini. Sebut saja Joe Taslim dimana orang lebih mengenalnya sebagai Sub Zero.

Film Lokal saat ini bisa dikatakan sejajar dengan Korea maupun Jepang, bahkan jika kita telusuri lebih dalam justru Film Hollywood yang saat ini kekurangan ide. Dimana Film Hollywood saat ini lebih memiliki ide seputar Remake, Reboot, Sekuel, Live Action maupun Superheroes dengan CGI yang mantap. Saat ini yang menjadi barometer perfilman dunia adalah Asia termasuk India, Jepang, Korea maupun Indonesia.

***

Kembali ke pokok permasalahan awal, tulisan ini sebenarnya tidak membahas kebangkitan film Indonesia, melainkan penghargaan untuk film-film buruk Indonesia. Penghargaan film-film buruk sebenarnay bukanlah hal yang langka. Hollywood sudah terlebih dahulu menjalankannya dengan penghargaan Razzie Awards

Razzie Awards adalah suatu "penghargaan" yang diberikan sebagai pengakuan atas yang terburuk dalam industri perfilman di Amerika Serikat. Dicetuskan pertama kali oleh seorang Penulis Amerika, John J.B. Wilson pada tahun 1981.

Can't Stop The Music menjadi film pertama yang memenangkan Razzie Awards yang diadakan di kediaman John J.B. Wilson, Film -- film terlaris dunia tidak luput perhatian dari Razzie Awards bahkan film terbaik sekalipun Sebut saja Shalley Duvall yang mendapatkan penghargaan sebagai artis pendukung terburuk  bahkan dia bermain di film terbaik dan mencekam yaitu The Shinning atau sebut saja The Wallstreet yang mampu mengantar Michael Douglas sebagai aktor terbaik di tahun 1988 namun Daryl Hannah Justru mendapatkan penghargaan sebagai Artis Pendukung terburuk di Razzie Awards.

Lalu haruskah ada Razzie Awards di Indonesia ? jawabannya seharusnya ada ? Sebab hal ini bisa dianggap sebagai pengontrol perfilman Indonesia, sebab tak semua film terlaris merupakan film terbaik dan tak semua film yang mampu mendapatkan penghargaan Academy Awards dianggap sebagai film terlaris sepanjang masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun