Belakangan kembali mencuat perbincangan masalah krisis listrik di Tanah Air, diawali dari persoalan listrik yang tak kunjung usai di wilayah Sumatera Bagian Utara. Termasuk diantaranya di Kalimantan Barat, Mirisnya permasalahan ini bukan hanya masalah baru bagi wilayah-wilayah selain Jawa dan Bali. Tapi ini merupakan masalah lama, Lebih miris lagi, di zaman globalisasi yang memerlukan teknologi lebih dan tak terlepas dari peran listrik masalah ini tetap menjadi masalah utama di daerah-daerah Indonesia.
Dalam hal ini adalah MEA / AEC. Apa itu MEA ? MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomu ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN. Para anggota ASEAN termasuk Indonesia telah menyepakati suatu perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut. MEA adalah istilah yang hadir dalam indonesia tapi pada dasarnya MEA itu sama saja dengan AEC atau ASEAN ECONOMIC COMMUNITY.
Didalam menghadapi MEA seperti yang dimaksud diatas tentulah Listrik amat sangat dibutuhkan, Lantas bagaimana jika Listrik di tanah air masih sering Byar Pyet ? Adakah pihak asing / investor luar yang ingin menanamkan modalnya ke tanah air ? Kita tentu tak bisa mengelak jika pihak-pihak asing nantinya membuka cabang usaha mereka ke tanah air, karena ini memang settingan dunia.
Lalu bagaimana jika seorang tidak atau mungkin telat membayar listrik ? Jawabannya sudah kita fahami bersama bahwa pemutusan adalah solusi jalan satu-satunya. Tapi apakah PLN sudah memberikan layanan yang sesuai ? itu menjadi pertanyaan besar.
Bagaimana dengan kasus Listrik 48 Juta yang terjadi di Riau dalam hal ini keluarga Emi Ramsar yang hanya berdaya 1300 VA namun harus membayar 48 Juta Rupiah, perbulan ? masuk akalkah?
Namun, kami sebelumnya juga berterima kasih atas tindakan PLN yang sudah memutuskan aliran di salah satu kantor parpol di Slipi Jakarta yang sudah memiliki tunggakan sebesar Rp. 400 Juta. Dan bagaimana juga dengan daerah–daerah yang masih menggunakan tiang dari kayu sebagai tiang listrik.
Satu hal yang pasti di zaman MEA seperti sekarang ini, produk-produk dari luar negeri bisa masuk ke Indonesia dengan mudah, Di satu sisi PLN sering mengatakan kerugian dan rugi. Lalu bagaimana jika suatu saat ada perusahaan Power Supply dari luar negeri “Bisa jadi Cina, Jepang, Bule” menanamkan usahanya di Indonesia ? Dengan kualitas yang lebih baik dari PLN ? Ingat didalam Islam ucapan adalah doa. Jika PLN selalu mengatakan rugi dan rugi suatu saat PLN bisa saja mengalami kerugian. Jika memang ada Power Supply dari negara lain yang menanamkan usahanya di Indonesia benar-benar terjadi
Di Luar Negeri pemadaman amat jarang terjadi, Namun bukan berarti tidak pernah terjadi, hanya frekuensinya amat berbeda dengan yang terjadi di Tanah air.
Hukum berbunyi bahwa orang tidak pernah permasalahkan harga atau biaya, tapi jika pelayanan lebih memuaskan orang akan lebih percaya dengan produk tersebut. PLN pernah mengatakan bahwa listrik di Kalimantan Barat akan aman di tahun 2016. (Sumber http://pontianak.tribunnews.com/…/pln-januari-2016-tidak-ad…) Pertanyaan selanjutnya adalah mampukah PLN menyanggupi pernyataan tersebut ?
Disisi lain banyak kerugian yang diakibatkan oleh padamnya listrik atua listrik yang tidak teratur, seperti Kebakaran, peralatan yang rusak. Apakah PLN mampu untuk menggantinya ?
Sebenarnya masih ada pembangkit tenaga lain yang sudah dikembangkan oleh pemuda Indonesia yaitu teknologi Smart Grid teknologi ini mampu mengintegrasikan dan mengatur pemanfaatan berbagai pembangkit listrik energi terbarukan baik energi surya, angin, air, biomassa termasuk diesel. Sumber (http://www.alpensteel.com/…/5461--teknologi-pembangkit-list… ) Sebenarnya Teknologi tersebut bisa di manfaatkan sebagai solusi alternatif pembangkit lain atau pembangkit konvensional lainnya. Seperti Air, Uap dan sebagainya. Hanya saja mengapa saat ini wacana hanya tinggal wacana dan Indonesia baru kelabakan seandainya ada negara lain yang membeli teknologi tersebut.
Sudah banyak buktinya contoh teknologi 4G yang ternyata bukan buatan Jepang, tapi karya anak Indonesia, dan lain sebagainya. Kami bukannya tidak cinta Indonesia, tapi mohonlah dihargai tenaga kami dengan menggunakan teknologi buatan kami. Itu saja yang kami inginkan .
Jika ingin Indonesia mampu bersaing dengan Negara lain terutama saat MEA seperti ini, perhatian dari pemerintahlah yang kami inginkan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif, Namun apa jadinya jika Pemerintah sendiri kurang menghargai. Jangan heran jika kami lebih memilih mencari nafkah di negara lain.
Menurut penulis, Cobalah PLN mulai menggunakan pembangkit listrik buatan anak bangsa, Untuk masalah Dana kami selalu membayar tepat pada waktu. Dan berusaha untuk mengurangi tunggakan.
Buat para pembaca lainya MEA atau AEC bukanlah sesuatu yang harus kita takutkan, banyaknya tenaga kerja dari Cina atau mungkin suatu saat Buruh dari India atau Jepang atau mungkin Negeri Paman Sam datang ke Indonesia bukanlah momok yang menakutkan bagi kita.
Hal ini sebagian sudah terjadi, dan ini merupakan keinginan dari Global Trade 2020. Pertanyaannya Sudah Siapkah kita menghadapi itu semua ? MEA dimulai sejak 31 Desember 2015. Efek domino yang terjadi adalah banyaknya smartphone Made In China yang terjual bebas di negara kita, dan banyaknya tenaga kerja asal negeri Tiongkok / Cina yang bekerja sebagai buruh di Indonesia. Meski mereka tak bisa berbahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H