Kita bekerja semata-mata untuk mencari rezeki. Bonusnya adalah karir, ilmu yang tiada batasnya serta pengalaman-pengalaman yang berharga. Kadang jika passion bekerja kita sesuai dengan jobdesk kita bisa lupa jam kerja. Akibatnya, waktu kita dalam sehari 50% dihabiskan di tempat bekerja sehingga waktu kita untuk keluarga dan kehidupan sosial di lingkungan tempat tinggal jadi berkurang.
Penulis mengartikan kondisi ini dengan work life balance, mungkin istilah ini sudah tidak asing dalam dunia kerja. Work life balance adalah keseimbangan waktu kerja dengan kehidupan di luar dunia kerja seperti waktu bersama keluarga, teman bahkan diri sendiri.
Pada tahun 2015 Society for Industrial and Organizational Psychology US melakukan riset terhadap karyawan. Hasilnya 70% karyawan mengeluhkan jam kerja dengan alasan durasi bertemu keluarga menjadi lebih singkat. Penulis sendiri pernah mengeluhkan jam kerja di perusahaan sebelumnya bekerja.Â
Bergerak di bidang distribusi dan marketing, rata-rata jam kerja sehari bisa 10-12 jam.  Hal ini tentu saja banyak faktor salah satunya adalah tuntutan perusahaan dan beban kerja yang cukup tinggi. Mungkin fenomena ini tidak hanya penulis sendiri yang mengalami dan masih banyak contoh rendahnya  work life balance di Jakarta.
Melihat fenomena di atas seharusnya UU Ketenagakerjaan dapat mengontrol jam kerja dengan memastikan apakah perusahaan swasta dan pemerintah mampu mengimplementasikan  peraturan tersebut dengan tidak menurunkan produktivitas kerja. Perusahaan juga perlu introspeksi dengan melakukan analisis beban kerja terhadap karyawan agar produktivitas kerja tetap konsisten disesuaikan dengan UU Ketenagakerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H