Mohon tunggu...
Setiadi Ranutinoyo
Setiadi Ranutinoyo Mohon Tunggu... -

Ikut membangun perpustakaan IKJ-LPKJ (1975 - 1982); menjadi redaktur majalah pertanian Trubus (1982-1990); sebagai redaktur pelaksana majalah pertanian Tumbuh (1990 - 1994)dan merangkap sebagai redaktur pelaksana Tabloid Warta Usaha Kadin Indonesia (1990 - 1995); ikut membangun Perpustakaan dan Dokumentasi Taman Buah Mekarsari (1995 - 2000); sebagai penulis bebas; menulis buku buku pertanian sejak 1982 - sekarang yang diterbitkan oleh penerbit buku Penebar Swadaya dan Majalah Flona. Selain itu, bersama Tim Agrimina Kultura, menulis buku perikanan yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama

Selanjutnya

Tutup

Money

Cabai: Aspek Sejarah dan Budaya

28 Desember 2012   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:54 2564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Barangkali, kalau tidak ada petualang dunia bernama Christophorus Columbus, tanaman cabai (Capsicum sp.) tidak akan dikenal oleh masyarakat di luar daerah habitatnya di Amerika tropis. Demikian pula bila tidak ada perhatian dari petualang ini terhadap tanaman itu, kisah tanaman cabai pun tidak akan seperti saat ini. Makanya, mau tak mau, kalauingin mengenal lebih dalam terhadap buah yang rasanya pedas itu, kita harus membuka lembaran kisah perjalanan Columbus, petualang berkebangsaan Spanyol, saat menemukan benua baru yang kemudian dikenal sebagai Benua Amerika.

Perjalanan Columbus

Kisah menarik petualang tersebut bisa dimulai kira-kira tahun 1490. Saat itu ekspedisi yang dipimpinya mendarat di sebuah daerah berhawa panas yang semula dikiranya sebagai salah satu daerah di Benua Asia. Namun, belakangan barulah diketahui bahwa daerah yang didaratinya, di selatan Mexico, merupakan daerah Guanahani, sekarang merupakan wilayah San Salvador, Amerika Tegah.

Columbus sempat terheran – heran pada tanaman cabai yang sudah dibudidayakan secara luas oleh penduduk asli di situ. Rasanya sangat pedas, aromanya sangat tajam. Cabai temuannya ini memang tanaman asli Amerika Selatan, yang menyebar ke Amerika Tengah lalu menuju Amerika Serikat bagian selatan. Diduga, penyebarnya ialah orang-orang Indian (penduduk asli Amerika).

Para arkeolog di Ekuador, Amerika Selatan, pernah menemukan sisa-sisa cabai yang menempel pada peralatan memasak penduduk Indian Kuno di Ekuador Barat Daya(berdekatan dengan perbatasan Peru). Dari hasil temuan ini diperkirakan cabai sudah dikenal sebagai bahan untuk bumbu memasak lebih dari 6.000. tahun lalu. Walaupun sebetulnya, sudah sejak 7.000 SM atau kurang lebih 9.000. tahun yang lalu, orang Indian sudah terbiasa memasak dengan bumbu yang dicampuri cabai.

Menginjak tahun 5200 – 3400 SM, atau kurang lebih 5.000-an – 7.000-an tahun yang lalu, orang-orang Indian itu mulai membudidayakannya konon dengan cara mencangkok atau menyetek. Dari hasil budi daya ini, cabai menyebarluas ke seluruh benua Amerika dan akhirnya ke semua benua.

Sementara penyebarluasan lewat benih atau biji diduga dilakukan secara tidak sengaja oleh burung-burung liar. Burung-burung ini memakan buah tanaman cabai, lalu terbang dan hinggap di mana ia mau. Lewat kotoran yang dikeluarkan itulah cabai tersebar ke mana-mana. Dari sini, cabai juga kerap kali disebut sebagai bird pepper atau cabai burung.

Di Indonesia, cabai itu dikenal sebagai cabai kecil alias cabai rawit alias Capsicum frustescens. Mengenai dugaan ini, ada informasi lain yang menyebutkan bahwa jenis cabai yang dimaksudkan di atas merupakan cabai liar yang bernama latin C. baccatum var. pendulum atau C. pendulum. Buah cabai jenis ini tidak mudah gugur walaupun sudah matang, sedangkan bijinya berwarna agak kemerah-merahan.

Setelah Eropa

Columbus beberapa kali memimpin ekspedisi untuk menjelajahi benua tersebut. Di akhir ekspedisinya tahun 1502, temuannya tersebut diperkenalkan ke benua lain. Dari sinilah dunia cabai terkuak ke masyarakat luar. Dengan demikian, orang menjadi tahu bahwa jenis cabai bukan hanya satu atau dua jenis saja. Kini, hasil produksi cabai dunia justru tidak terpusat di Eropa, tempat asal Columbus si penemunya itu, melainkan di daerah – daerah tropis yang jauh dari benua dingin tersebut.

Sebelum menyebar ke semua benua, dunia barat lah (Eropa) yang lebih dulu mengenalnya sebagai ‘chile pepper, guinea pepper’. Adalah Spanyol yang pertama kali berkenalan. Dalam waktu singkat, wilayah Eropa Tenggara yang membentang dari Spanyol (bagian Timur di Laut Tengah) sampai Portugal (bagian Barat di Samudera Atlantik), mengakrabi cabai sebagai rempah-rempah, sebagaimana lada atau lainnya.

Spanyol dan Portugis kemudian menyebarluaskan cabai ke wilayah koloninya atau wilayah yang pernah dikunjungi untuk melakukan perdagangan rempah-rempah, misalnya saja ke Asia antara lain India, China, Korea, Jepang, Filipina, Malaka, dan tentunya Indonesia. Penyebarluasan ke India diperkirakan tahun 1493 – 1498. Kini, India menjadi pengekspor utama cabai dunia.

Masuk Indonesia

Entah sejak kapan Indonesia mengenal cabai untuk pertama kalinya. Namun ada dugaan sekitar abad 15-16. Perkenalan ini juga tidak lepas dari kisah perjalanan penjelajah Portugis juga. Keahlian bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal dan persenjataan, memungkinkan mereka untuk melanglang buana. Selain melakukan eksplorasi, demi penguasaan atas perdagangan rempah-rempah (waktu itu terutama lada), Portugis juga melakukan pendudukan di daerah yang didaratinya. Tahun 1512 Portugis menduduki Malaka, kemudian bekerjasama dengan penguasa lokal melakukan perjanjian perdagangan rempah-rempah khususnya lada. Setelah itu masuk ke kepulauan yang sekarang menjadi Indonesia.

Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang tiba di Indonesia dan berusaha menguasai sumber rempah-rempah yang berharga. Tahun 1512 dan 1521 melakukan perundingan dengan penguasa di Sunda, lalu menandatangani perjanjian dagang (terutama lada), dan pemberian hak kepada Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kelapa.

Tahun 1522, Portugis memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun ini pula Portugis mengirim sebuah kapal ke Sunda Kalapa yang membawa barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda. Barangkali, di antara barang berharga itu, adalah benih atau bibit tanaman cabai yang dianggap sebagai tanaman penghasil bahan rempah-rempah. Karena, sebagaimana sudah disebutkan di atas, di Eropa sana cabai sudah populer sebagai salah satu bahan rempah-rempah.

Pada 1527 Kesultanan Demak mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Kemudian Portugis mengalihkan perhatian ke arah timur yaitu Maluku, termasuk pulau-pulau Ternate, Ambon, Solor, dan sekitarnya. Dari sini lalu beralih ke Jepang, Makao dan Cina. Kehadiran Portugis di Indonesia terbatas sampai ke Solor, Flores dan Timor. Tahun 1575 Portugis mengalami kekalahan di Ternate, dan setelah penaklukan Belanda atas Ambon, Maluku Utara dan Banda, Portugis angkat kaki dari daerah yang pernah dikuasainya.

Dari kisah di atas, kemungkinannya, cabai dikembangkan ke Indonesia Timur sekitar 1527. Sedangkan pengembangan ke Sumatera, diduga melalui pelabuhan-pelabuhan di Timur Sumatera (Selat Malaka), belum ada catatan yang bisa memberikan kepastian.

Seterusnya, setelah mengusir Portugis, tahun 1602, didirikanlahVereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC, yang memiliki sebutan populer ‘kompeni atau kumpeni’ yang diambil dari kata compagnie tersebut. Kompeni ini merupakan sebuah badan dagang yang memiliki keistimewaan berupa dukungan dari negara (Belanda) dan pemberian fasilitas misalnya boleh memiliki tentara dan bernegosiasi dengan negara-negara lain.

Pada abad 19 (tahun 1800-an) VOC dibubarkan dan semua hak milik VOC di Nusantara diambil alih Pemerintahan Belanda di Eropa. Pada masa pemerintahan Belanda, tanaman perkebunan (teh, kopi, gula, dll.) berkembang pesat, dan tampaknya tanaman cabai ikut menikmati perkembangan itu. Hal ini barangkalikarena cabai merupakan tanaman penghasil bahan rempah-rempah, sehingga potensial dijadikaan barang dagangan. Sebagai bukti, pada 1918 tercatat ribuan kilogram cabai dikapalkan dari Pelabuhan Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya menuju Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Kalimantan.

Sebelumnya, tahun 1899, sudah ada yang mencatat bahwa cabai bisa dikelompokan ke dalam kelompok cabai besar dan cabai kecil. Dari masing-masing kelompok ada beberapa forma. Ada yang buahnya kecil, ada yang bulat, ada yang lonjong bergaris-garis, ada yang menggembung.Sayang sekali catatan ini tidak menguraikan informasi selanjutnya kecuali soal rasa yang kepedasannya bervariasi.

Yang perlu digarisbawahi bahwamasyarakat Jawa pada masa itu sudah terbiasa memanfaatkan cabai sebagai bumbu (buahnya) dan obat luar (daunnya). Nama daun cabai menurut orang Jawa masa itu adalah ‘godong sabrang’. Maksudnya tentu ‘daun tanaman dari seberang’ yang maknanya bahwa tanaman cabai memang bukan tanaman asli negeri sendiri melainkan dari negeri lain.

Tidak hanya untuk bumbu

Cabai yang sudah dikenal sejak masa pra-sejarah oleh penduduk asli Amerika (Indian), ternyata tidak hanya sebagai bahan untuk bumbu memasak saja, melainkan juga sebagai sarana untuk melakukan upacara adat. Bahkan, buah cabai tua yang warnanya sudah memerah kecoklat-coklatan, menjadi suguhan istimewa dalam suatu perjamuan yang dihadiri para ‘tetua’ suku Indian Aztec.

Indonesia melakukan hal yang serupa. Cabai sebagai bumbu bisa dikenali dari masakannya. Mulai dari sambal terasi Jawa sampai balado Padang atau rica-rica Manado, ditambah lagi ‘lawar’ Bali. Namun, bagaimana kisahnya cabai juga dijadikan salah satu sarana untuk acara-acara adat,sesaji, atau tradisi-tradisi semacamnya, belum bisa disajikan di sini.

Untuk sekedar contoh, ‘lawar’ yang merupakan salah satu jenis makanan tradisional Bali, menggunakan cabai sebagai salah satu bahan untuk bumbu memasak. Sementara ‘lawar’ bukan sekedar masakan untuk disantap semata, melainkan juga sebagai sarana dalam melaksanakan upacara adat seperti pernikahan, kematian dan upacara ditempat-tempat suci (Pura). Fungsinya selain sebagai sarana komunikasi antar warga juga sebagai sesaji yang merupakan simbol ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kehidupan di dunia ini.

Contoh lain dari Jawa. Nasi/ketan tumpeng yaitu nasi /ketan yang dibentuk menjadi ‘gunungan’ (kerucut), dilengkapi dengan lauk pauk, buah-buahan dan sayur mayur (di dalamnya ada cabai besar atau lombok). Bagian puncak tumpeng diberi ‘tusukan’ yang berisi: telur matang utuh dan masih berkulit (biasanya telur ayam kampung) yang ditusuk seperti sate; di atasnya diberi terasi bakar dan atau ikan; di atas terasi/ikan bawang merah; dan di atasnya cabai merah. Jadi cabai merah posisinya paling atas.

Nasi tumpeng sebagai simbol permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara ‘gunungan’ sebagai simbol ‘penolak bala’ atau dijauhkan dari segala macam bencana dan malapetaka; dan juga simbol kesejahteraan. Menurut anggapan sementara orang, bila bagian gunungan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau ladang, maka sawah atau ladang akan menjadi subur.

Tentu saja, cerita yang sama bisa ditemukan di kawasan lain di bumi Nusantara ini. Semua ini hanya sekedar percikan fakta bahwa tanaman cabai tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia umumnya. -***dari berbagai sumber (Set).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun