Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Wologai, Bukit Bunga Manulalu, dan Persawahan Spider Web Bajawa

8 Januari 2023   17:35 Diperbarui: 8 Januari 2023   17:40 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di antara tempat terindah sepanjang road trip Flores, saya memilih Bajawa sebagai tempat favorit. Kenapa? pertama, suhu udara di sini sejuk nian, kira-kira belasan derajat jadi bikin tidur pulas. Kedua, tempat ini cenderung sepi dari wisatawan dan kalem padahal pesonanya bukan main.

Namun patut diingat, kalau kamu datang menjelang musim hujan atau pas musim hujan, kabut di sini bisa sangat tebal padahal kamu sudah keluar rumah tengah hari. 

Makanya perlu waspada, apalagi kamu baru pertama berkendara di sini karena jarak pandang bisa benar-benar pendek. Sementara jalan yang dilalui juga kecil dan kanan kirinya perbukitan dan hutan. 

Gegara hal ini, sopir saya Rian,  yang asli Bajawa padahal, selalu tegang dan kaku saat mengendara yang otomatis bikin atmosfir di dalam mobil keikutan tegang hahaha...

Dan ketegangan ini berlanjut sampai kami benar-benar failed menemukan si danau 3 warna Kelimutu yang ngumpet di balik kabut nan tebal. Gimana gak tegang dan kesel, Kelimutu seyogyanya adalah tujuan akhir kami selama over land, bahasanya itu "safe best thing for the last" eh malah kaga dapet. Hujan terus terusan bukan cuma membuat kami kebasahan di Kelimutu tetapi membuat harapan kami terendam kekecewaan.

Alhasil terjadilah perdebatan di Kelimutu, apa mau lanjut ke destinasi lain atau mau menunggu sampai si Kelimutu mau menunjukkan diri. Setelah adu argumen di atas bukit Kelimutu, maka disimpulkanlah kalau kami memilih pergi meninggalkannya karena tak ada tanda kabut bakal pergi segera. Tempat pertama pengganti Kelimutu adalah Desa Wologai, Bajawa.

Desa ini cenderung kecil hanya terdapat beberapa rumah, berbeda dengan desa Bena atau Waerebo yang sebelumnya  saya datangi. Tidak ada susunan yang khas, tetapi desa ini punya warga yang paling ramah. 

Ketika kami datang saja, anak-anak sudah menyambut kami dengan senyum malu-malu khas warga desa. Kalau sudah begini, buru-buru saya megeluarkan kamera sebab momen senyum mereka sayang dilewatkan. Lalu anak-anak ini jadi semakin malu, dorong-dorongan dan tertawa. Ih, gemas banget kan.

dok pribadi
dok pribadi
Oh ya, tidak ada tiket, tapi kami diharuskan untuk mengisi daftar tamu saja.  Selepas itu, kami dilepas begitu saja menuju desa yang benar-benar sepi. 

Ternyata di desa ini, orang-orang sudah tidak menghuni rumah tersebut. Mereka memilih pindah ke rumah yang lebih modern dan tidak lagi bernaung di rumah tradisional yang cuma beratapkan ijuk ini.

Saat asik memotret, kami disatroni ibu-ibu yang menawarkan kain ikat khas Bajawa. Awalnya dia menawarkan kami membeli tapi kami balik menawarkan kalau kami cuma mau meminjam dan kami bayar. Eh diokein, maka tuntaslah rasa penasaran saya pakai kain ikat dengan menyelubunginya sampai kepala saya. Cara memakai kain ini yang sering saya lihat di Bajawa apalagi cuaca sedang dingin begini.

Sama seperti anak-anak, ibu-ibu ini pun tak kalah ramah dan sering senyum. Sambil mengunyah sirih, mereka mengajak ngobrol kami hingga "cekrek" si Rian tiba-tiba candid potret kami. Hal yang sungguh di luar kelaziman. Kenapa nih bocah tiba-tiba begini, padahal di perjalanan sebelumnya cuek abis, jarang ngobrol dan suka pergi sendiri. 

Lalu, dia juga yang mengajak saya berfoto sendiri. "Mau difotoin ga kak, di sini bagus". Satu dua detik saya harus mencerna keanehan gelagat Rian. "Oh, ok" kata saya dan karena masih sibuk mencerna kelakukan Rian, foto saya jadi aneh gitu. 

Keramahan Rian ini terus berlanjut ke destinasi selanjutnya. Hingga saya dan juga yang lain menyadari mungkin Rian ikut merasa menyesal karena kita tidak mendapatkan Kelimutu. Suatu penebusan dosa, mungkin hahaha.

dok pribadi
dok pribadi
Dari desa Wologai kami menuju destinasi selanjutnya yaitu Manulalu. Tempat ini sebenarnya penginapan yang berada di kaki gunung Inerie dan dikelilingi bukit-bukit.

Di depan penginapan ini memang bisa dimasukin untuk umum, jadi kawasan ini mempunyai taman bunga yang cantik dan berwarna warni. Jadi kamu tinggal beli tiket aja dan sudah bisa menikmati spot-spot instagramable di sini. 

Cantiknya lagi, dari sini kita bisa melihat betapa mempesonanya Inerie yang berdiri gagah melihat kita. Plusnya lagi, kabut sudah turun saat kami datang dan berkumpul tepat di bawah Inerie, wah keren banget lah. 

Apalagi kamu bisa banget seharian di sini karena kawasan ini lumayan luas dengan kontur bukit yang naik turun. Namun sayangnya kita gak punya waktu banyak, karena harus langsung menuju Bajo.

dok pribadi
dok pribadi

dok pribadi
dok pribadi

Dari sini, Rian yang masih terlihat bersalah, menyarankan kami buat singgah sebentar di persawahan yang mirip jaring laba-laba atau spider web. 

Kata Rian, sebenernya ada beberapa tempat di Ruteng yang punya lokasi seperti ini, namun karena kita mencari yang paling dekat ya tempatnya di Bajawa ini. 

Saya pikir, tempat seperti ini kawasan wisata tetapi bukan loh. Jadi ya memang persawahan warga saja. Sebab dianggap unik oleh banyak wisatawan, khususnya luar negeri, maka banyak warga yang inisiatif membuka kawasan ini secara swadaya. 

Mereka pun menaruh kotak-kotak restribusi bahkan bulu tamu, semacam pos, yang dijaga sama warga sekitar. Pas saya datang, saya kembali diminta mengisi buku tamu dan si ibu langsung menyuruh anak-anak mengantar kami.

Bocah-bocah ini pun antusias menunjukkan jalan dengan kekuatan dan kecepatan yang super sampai kami para jompo ketinggalan. Apalagi jalanan menuju penampakan sawah ini menanjak terus dengan tangga seada-adanya dan jalanan yang sempit, sehingga sukses membuat napas kami putus-putus wkwkwk. 

Pas udah sampai di atas, cuma seruan "yaaaahhhh" yang terdengar karena si spider web tidak sempurna alias bopeng-bopeng dengan warna yang tak beraturan. 

Ternyata, memang kami yang salah waktu gegara sawah-sawah mereka sudah dipanen jadi ya warnanya ada yang hijau dan coklat. Cuma memang masih kentara bentuknya seperti apa.

dok pribadi
dok pribadi
Yaudah deh kita turun lagi, dan kami juga tak lupa memasukan uang seikhlasnya untuk para warga bisa menjaga daerah ini. Namun saya masih terbayang satu hal dan membuat saya sedikit merasa tak nyaman. 

Di atas bukit tadi, bukan hanya spider web yang kita lihat, saya justru fokus ke penambang liar yang lagi sibuk menggerus perbukitan hingga menjadi hampir botak dan mungkin dalam waktu dekat bisa menyebakan longsor, apalagi mereka gak pakai alat yang memadai. Plis lah, manusia jangan serakah banget sampai bikin miris gitu.

Lepas dari itu semua, kita harus mulai bersiap-siap menuju Bajo dengan perjalanan yang lumayan panjang. Tak hanya itu, malam ini kami ada janji makan di restoran sushi, milik chef kenalan redaktur kami. Mau tau kayak gimana kelanjutannya, ikutin terus ceritanya ya. Cerita lainnya lihat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun