Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pantai Batu Biru dan Tongkat Monyet di Museum Sukarno Ende

13 November 2022   11:33 Diperbarui: 13 November 2022   16:53 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ih kok pantainya kotor ya?" itu komen yang saya dapat saat mempublikasi foto Blue Stone Beach ke media sosial. "Mananya yang kotor? itu batu tau" kata saya menanggapi. Tapi memang banyak orang yang tidak familiar dengan tampilan pantai di Ende ini. Betapa tidak, pantai ini mempunyai batu berwarna hijau dan biru juga abu plus pasir pantainya hitam sehingga bebatuan di sini tampak mencolok.

Jadi sebenernya saya baru tahu ada pantai ini setelah driver saya memutuskan untuk berhenti sejenak  melepas lelah  dari Bajawa dan akan menuju Kelimutu. Jadi sebenernya, semua ittinerary sepenuhnya saya serahkan kepada driver si Rian ini hahaha secara dia tahu tempat yang menarik di sepanjang perjalanan saya dari Labuan Bajo menuju Kelimutu.

Terpenting, pesan saya cuma bisa nginep di Waerebo dan diakhiri di Kelimutu. Balik lagi ke pantai, angin di sini bener-bener membius karena begitu menenangkan. Makanya tak heran banyak pejalan yang memutuskan rehat di sini sambil tidur-tiduran di saung pinggir pantai. Kami juga bersantap di sini dengan lauk serba ikan dan maknyos banget. Mumpung lagi rehat dan Rian memutuskan rebahan sebentar, maka kami juga memanfaatkan waktu itu keliling pantai ini. Pantai yang berada di pinggir jalan ini tampak sepi karena memang tidak ada yang berenang, gak tau kenapa mungkin mereka sudah terbiasa melihat pantai ini.

Untuk  duduk-duduk atau membuat pasir juga sulit di sini karena batuannya banyak banget dan terhampar, dengar-dengar batu ini juga kerap diambil sama orang-orang untuk dijadikan  hiasan, cantik sih, kok saya gak ikutan ngambil yak! Tetapi ya tetap aja gak bagus kalau diambilin terus, gimana kalau tiba-tiba habis. Main di pantai ini juga serba salah, nyeker salah karena kaki sakit kena batu, tapi pake sepatu/sendal pun kayak gak nyaman gitu hahaha ribet ya. Cuma yang terpenting kalau di sini tolong jaga kebersihan ya, karena pantai-pantai di Flores ini indah tak ada duanya jadi sayang banget kalau yang nikmatin pantai itu jorok hm...

dok pribadi
dok pribadi
Setelah 2 jam rehat, kayaknya saya tahu kenapa si Rian kecapean juga gegara dia bener-bener konsentrasi untuk mengemudi. Jadi walaupun emang jalanan di sepanjang road trip ini sepi dan mulus, tapi cuaca bener-bener gak ngedukung. Gerimis dan hujan membuat kabut cepat turun padahal masih siang bolong plus juga banyak hewan ternak sampai anjing yang suka bikin kaget karena mereka tanpa rasa bersalah leha leha aja di pinggir jalan. Asem bener ya.

Kita lanjutkan lagi perjalanan menuju pusat kota Ende dan di sanalah ada museum rumah pengasingan Bung Karno dan juga pohon pancasila wow banget. Eh tapi sebelum sampai di sana kita udah dibuat merengut dan deg degan. Gimana gak, pas udah mau deket, ternyata kita kejebak kemacetan ya jarang banget nih kalau gak karena ada sesuatu. Sebab bosan maka kami pun keluar dan mencari tahu ada apa nih, ternyata ada perbaikan jalan sehingga yang bisa digunakan cuma satu jalur. Waduh, masalahnya itu jam-jam itu udah mau jam tutup museum, yah masa sih harus kita skip.  Saya pun bertegur sapa dengan beberapa warga yang ikutan mengerubung bahkan keluar dari mobil angkot colt. Beruntung, kemacetan ini gak sampe 2 jam hingga kita masih sempat deh ke museum.

dok pribadi
dok pribadi

Mata saya langsung mencari-cari di mana letak museumnya ternyata hanya berupa rumah kecil yang terhimpit dengan bangunan tempat tinggal dan pemerintahan. Yang bikin takjub suasana dan udara di Ende ini benar-benar bersih dan nyaman dihirup. Kami pun memarkirkan mobil kami di alun-alun yang ternyata juga di sanalah letak pohon sukun yang jadi tempat Sukarno menulis Pancasila.

Yadahlah kita langsung tancap gas ke museumnya dulu, ternyata belum tutup yey. Tapi kami cuma punya waktu sebentar buat mengitari rumah ini. Untuknya cuma secuil rumahnya, jadilah kita menjadi penonton betapa sederhananya rumah ini. Ada kasur, meja kursi, dan perabotan lainnya di dalam rumah pengasingan ini. Namun yang paling membuat saya begitu perhatian adalah ada macam-macam tongkat Bung Karno. Salah satunya tongkat dengan gagang berbentuk monyet, katanya, tongkat ini dia pakai kalau mau bertemu Belanda. Simbol monyet di tongkat ini merupakan simbol memperolok Belanda kala itu yang menjajah Indonesia. Menarik ya. Di belakang rumah ini pun ada sumur yang masih dibiarkan begitu saja, cuma diberi cat baru agar tak kelihatan angker banget ya hahaha.

dok pribadi
dok pribadi
Ok, karena sudah mau tutup kami memutuskan bergeser ke Taman Perenungan Sukarno. Oia untuk masuk ke rumah ini gratis namun disediakan kotak uang untuk biaya pemeliharaan serta buku tamu. Saat di taman ini kami langsung mencari-cari di manakah pohon sukun yang dimaksud itu. Sapa tahu kita juga bisa dapat ilham menciptakan apa gitu biar kayak Sukarno wkkwwkwk. Tapi ya, setelah dilihat-lihat ternyata tidak ada pohon spesifik yang dimaksud. katanya pohonnya udah keburu tumbang. Yah banget! Cuma di sana yang mencolok ada sang bapak bangsa yang lagi kelihatan duduk dan menulis. Kira-kira di sini lah Sukarno dulu mendapatkan ilham menulis Pancasila. Sebenernya rada kecewa sih karena feel sejarahnya kurang dapet banget nih padahal udah jauh-jauh ke sini.

Baeklah karena hari sudah semakin sore kami langsung meneruskan perjalanan lagi menuju hotel yang dekat dengan Kelimutu. Namun perjalanan tak bisa santai, saat langit mulai gelap dan hujan. Lampu pun begitu minim dan jarak pandang kami benar-benar terbatas. Rian lalu menegakkan dan memajukan kursinya tampaknya dia benar-benar mau konsentrasi apalagi kami bersisian dengan jurang.

Sementara kami di belakang sibuk wah wah wah aja kaga pengertian sampai membuat Rian yang orangnya adem ayem mengomeli kami dan menyuruh diam. Entah kenapa kami pun menurut karena paham kayaknya ini bener-bener gawat deh jalannya. Si mama terus merapalkan berbagai doa, tahlil, tahmid dan sebagainya. Lalu saya meremas ujung kursi dan berharap semua baik-baik saja. Setelah ketegangan hampir satu jam, Alhamdulillah kami selamat sentosa dan sampai di hotel kami yang begitu dekat dengan Kelimutu.

Sesaat kami juga bimbang apa bisa dengan cuaca buruk begini lihat sunrise di bukit Kelimutu. Penasaran apa kita bisa lihat? nantikan cerita selanjutnya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun