Sebagai orang ibukota, saya pun menyerah diajak kemana saja oleh si tour guide Rian yang diketahui trackrecord-nya sudah menganter tamu ke mana saja.Â
Maka sehabis dari Wae Rebo tengah hari kami langsung diantar ke Bajawa. Nah, dari Wae Rebo ke Bajawa itu lumayan panjang perjalanannya guys. Jadi kudu sabar dan tidur, nyemil, makan aja terus.
Yang unik dari perjalanan kami dari Wae Rebo ke Bajawa itu kudu hati-hati walau jalanan sudah mulus tapi tetap saja banyak jebakan. Bukan paku atau orang jahat, tapi yang jadi jebakan itu si anjing-anjing yang pada suka gegoleran di tengah jalan.
Jadi kadang-kadang kita ngerem mendadak karena si anjing tiba-tiba nongol trus kucluk kucluk udah aja dia tiduran. Eh buset nyebelin banget.
Perjalanan ke Bajawa juga kita dikagetkan lagi sama hujan yang tiba-tiba membuat semua kabut pada turun dan gelap.Â
Wah apa-apaan nih padahal saat itu masih jam 2 siang. Seakan-akan menemukan daerah yang bener-bener bikin syok dan suprise dalam waktu yang bersamaan. Alhasil mulut kita gak berhenti menganga sementara Rian semakin fokus dan serius menyetir.
Akhirnya hampir sore kami sudah sampai di Desa Bena. Di kelilingi hutan bambu dan di dasar gunung Inerie, desa ini ada. Cukup sepi dibandingkan dengan Desa Wae Rebo.Â
Maka kami masuk dan kami pun bingung karena gak ada harga tiketnya. Malah kami diberikan seledang tenun sebagai bukti kami adalah pengunjung.
Trus kami disuruh mengisi buku tamu, bahkan di gubuk penyambutan tamu ini pun tampak begitu sepi. Saya jadi bingung sendiri. Sebab saya gak tahu ini sejarahnya gimana dan hasilnya ya dari google.Â
Ternyata di sini, si Rian emang mau beli gelang hadeh. Suasana desa pun begitu sepi beberapa ibu tampak keluar masuk dengan penuh sirih di mulutnya.Â
Ada ibu-ibu yang kami hampiri dan kami ajak ngobrol soal tenun. Ternyata tenun Bajawa jauh lebih murah daripada tenun yang dijual di kota. Start-nya dari Rp 75 ribu aja udah dapat yang kecil.
Beda dari desa Wae rebo yang bentuknya lingkaran, susunan desa Bena ini berundak. Jadi kita harus beberapa kali naik. Katanya semakin tinggi rumah tersebut maka semakin tinggi juga status sosialnya.Â
Di depan rumah-rumah mereka juga ada simbol-simbol tanduk kerbau sebagai bukti bahwa desa ini juga menggelar upacara kurban.Â
Segitu aja pengetahuan yang kita dapat karena Rian pun gak tahu benar soal desa ini, tak ada pemandu yang bisa menjelaskan kepada kami. Seolah ini desa dibiarkan begitu saja, sedih sih. Jadi semakin ke atas semakin kita bisa melihat rumah-rumah penduduk dari atas.
Dari penelusuran google ternyata di desa ini hidup 45 kk alias 45 rumah yang sudah ada sejak zaman batu dan mereka menyembah leluhur yang ada di gunung Enerai.Â
Saya percaya sih kalau pengelolaan desa ini lebih baik mungkin banyak turis yang datang dan tidak dibiarkan begitu saja keliling sendirian. Seperti di Waerebo, sejak datang kami langsung diberi penjelasan walaupun hanya gak lebih dari 15 menit tapi kita tahu gitu jelasnya gimana.
Pulang dari sini hari sudah semakin gelap dan kita memutuskan untuk menginap di Bajawa. Beda dari Labuan Bajo, kota ini amat tenang dengan homestay dan hotel kelas melati seadanya.Â
Namun mereka tetap terbaik juga memberikan pelayanan pada tamu walau kondisinya masih terbatas. Keesokan harinya adalah perjalanan ke Ende, mau tahu serunya gimana tungguin kelanjutan ceritanya di sini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI