Ternyata di sini, si Rian emang mau beli gelang hadeh. Suasana desa pun begitu sepi beberapa ibu tampak keluar masuk dengan penuh sirih di mulutnya.Â
Ada ibu-ibu yang kami hampiri dan kami ajak ngobrol soal tenun. Ternyata tenun Bajawa jauh lebih murah daripada tenun yang dijual di kota. Start-nya dari Rp 75 ribu aja udah dapat yang kecil.
Beda dari desa Wae rebo yang bentuknya lingkaran, susunan desa Bena ini berundak. Jadi kita harus beberapa kali naik. Katanya semakin tinggi rumah tersebut maka semakin tinggi juga status sosialnya.Â
Di depan rumah-rumah mereka juga ada simbol-simbol tanduk kerbau sebagai bukti bahwa desa ini juga menggelar upacara kurban.Â
Segitu aja pengetahuan yang kita dapat karena Rian pun gak tahu benar soal desa ini, tak ada pemandu yang bisa menjelaskan kepada kami. Seolah ini desa dibiarkan begitu saja, sedih sih. Jadi semakin ke atas semakin kita bisa melihat rumah-rumah penduduk dari atas.
Dari penelusuran google ternyata di desa ini hidup 45 kk alias 45 rumah yang sudah ada sejak zaman batu dan mereka menyembah leluhur yang ada di gunung Enerai.Â
Saya percaya sih kalau pengelolaan desa ini lebih baik mungkin banyak turis yang datang dan tidak dibiarkan begitu saja keliling sendirian. Seperti di Waerebo, sejak datang kami langsung diberi penjelasan walaupun hanya gak lebih dari 15 menit tapi kita tahu gitu jelasnya gimana.
Pulang dari sini hari sudah semakin gelap dan kita memutuskan untuk menginap di Bajawa. Beda dari Labuan Bajo, kota ini amat tenang dengan homestay dan hotel kelas melati seadanya.Â
Namun mereka tetap terbaik juga memberikan pelayanan pada tamu walau kondisinya masih terbatas. Keesokan harinya adalah perjalanan ke Ende, mau tahu serunya gimana tungguin kelanjutan ceritanya di sini.Â