Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ikut Nelayan Siau Melaut buat Hati Tertaut

24 Oktober 2021   12:16 Diperbarui: 24 Oktober 2021   12:17 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjejakkan kaki di Pulau Siau yang bagian dari Sitaro (Siau, Tagulandang, Biaro) ini kami langsung di antar ke penginapan yang mirip rumah berlantai tiga, namun ternyata lumayan nyaman karena ada air panas dan AC hahaha. Di kejauhan sudah nampak wajah Gunung Karangetang yang sudah sejak awal kami dengar selalu agresif menyemburkan lava. Widih gila uga warga di sini berani dekat-dekat gunung agresif gitu hahaha.. tapi nanti kita kasih tau ternyata gunung ini bukan sekadar gunung biasa.

Kami langsung diantar menuju lokasi para nelayan Siau, tapi sebelum itu kita makan malam di warteg. Oh my god, saya adalah orang yang belum apa-apa udah segen makan di warteg, ga nafsu. Bukan belagu tapi udah tertanam di otak saya kalau di warteg itu makanannya kotor, itu yang selalu mama ucapkan sejak saya kecil jadi hampir gak pernah makan di warteg kecuali terpaksa kayak gini. Jadi pelajaran nih bu ibu jangan pernah menanamkan doktrin apapun ke anak, termasuk soal makanan. hmmm

Dari sini lah, awal ketidaknyamanan saya yang akan membuat saya berakhir tragis. Ok, balik lagi ke nelayan, kami kaget setengah mati karena ada tenda kok ya. Ebuset, ternyata mereka bener-bener menyiapkan kedatangan kami. Puluhan warga berkumpul menyambut kami sambil tersenyum senang. Hei hei... bukan pejabat ini lho wkwkkw. Akhirnya, layaknya upacara seremonial lain kami pun ikutan speach dan menyampaikan tujuan kami secara amat formal pake berdiri di depan pake mic hahaha. Setelah diskusi, kami langsung sepakat syuting akan mulai dilakukan besok pagi.

Keesokannya jam 6 pagi kami sudah balik lagi ke kampung nelayan tersebut, mereka sudah bersiap mendorong perahu mereka ke tengah laut di tengah matahari yang sudah mulai menyala sehabis gelap. Saya menaiki kapal yang berbeda dari anak-anak video yang mereka memang bebas mendirect sang kapten kapal. Sementara saya, bertanya sana sini dengan bapak yang sedari tadi sibuk menggeber perahu penolong ini. Ternyata emang perahu kami tak tertolong diam saja di tengah laut dan memang ternyata ada masalah dengan mesinnya.

Nelayan siau/dok pribadi
Nelayan siau/dok pribadi
Saat sedang ribet kondisinya, si perwakilan kementerian yang gak ngerti jabatannya apa plang plongo doang, ribet minta foto sana sini. Dia kaga liat saya lagi wawancara plus foto-foto nelayan, ok baiklah saya ladenin satu dua kali, eh lama-lama doi ketagihan di saat seperti ini plus matahari pagi yang memanggang badan saya, rasanya saya pengen ceburin dia hahaha. Kesel sumpah. Tapi sebelum dia saya ceburin, teman-teman video saya sudah nyebur duluan buat kebutuhan video. Sungguh berdedikasi, meski besok paginya dia bertahak terus menerus karena masuk angin. Adehhh....

Nelayan siau/dok pribadi               
        googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});
Nelayan siau/dok pribadi googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-412');});
Nelayan siau/dok pribadi
Nelayan siau/dok pribadi
Tak lama, perahu kami pun diderek sama perahu lain dan menepi. Refleksi matahari pagi ditambah birunya laut Sulawesi membuat saya betah menjepret sana-sini yang membuat foto begitu ciamik. Huwau seneng! Setelah menepi di bapak sopir perahu pun meminta foto berdua dengan saya. Saya senang, hmmm... setidaknya saya membuat mereka nyaman.

Hingga akhirnya saya mewawancarai Pak Marthin, seorang nelayan yang merasa amat terbantu dengan program Perahu Penolong. Dengan logat Sulawesi yang amat kental, Pak Marthin menceritakan pengalamannya menjadi nelayan hingga membuat kami semua bergetar. Sebelum punya perahu dengan mesin, dia harus menempuh berkilo-kilo dengan perahu tenaga manusia alias mendayung. Suatu kali, dia terhempas karena angin laut hingga ke tempat yang paling jauh dari rumahnya. Beruntung ada ponsel yang bisa dia gunakan untuk menepon rumah. Dia menangis serupa anak kecil dan meminta dijemput dengan perahu bermesin. Apa itu membuatnya kapok jadi nelayan? tentu tidak, dia memilih setia bersama laut. Haru!

Selepas ini, kami mengunjungi ibu bupati yang cantik dan juga dihadiahi sunset serupa emas bertaburan di langit. Yuk, cek ceritanya nanti. Cerita lainnya bisa lihat di sini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun