Penjelajahan dari air terjun tak terdeteksi Google diakhiri dengan mampir ke salah satu perkumpulan warga di kaki Gunung Manoreh.Â
Mereka diberdayakan oleh salah satu Bank BUMN untuk bisa mandiri secara ekonomi. Jadi mereka diberikan pelatihan. Salah satunya membuat anyaman dari pandan duri.Â
Saya baru tahu ada pandan berduri hahaha.. tapi beneran tajam lho. Saya selalu senang melihat para ibu-ibu bener-bener bisa kreatif tanpa bergantung dengan penghasilan suami yang cuma berladang. Esok pagi kami sudah melek jam 5 pagi untuk bisa lihat sunrise di Tebing Gondopurowangi.Â
Tapi kita kesiangan akibat saling tunggu sana sini sampai akhirnya baru jalan sekitar jam 6 pagi. Apesnya lagi ada longsor sehabis hujan sehingga kita gak bisa lewat.Â
Terpaksa lewat jalan lain yang lebih kecil dan sedikit masih gelap. Dan bruk.... mobil rombongan di depan kami nyungsep keluar jalur.Â
Duh, ampun gimana mau lihat sunrise nih yak. Udah pasrah gak kekejar. Akhirnya kami keluar mobil ternyata warga di sana sudah sigap bahu membahu mendorong mobil ke jalur semula. Alhamdulillah berhasil. Asiknya di kampung itu kekeluargaan dan tolong menolongnya masih kental jadi jangan takut kenapa-kenapa juga.
Saya pikir lokasinya sudah dekat ternyata kita harus treking lagi selama 30 menitan dengan kondisi jalan becek dan penuh belukar plus naik-naik ke tebing, Oh my god.Â
Untungnya matahari sudah nongol jadi penglihatan kami bisa maksimal gak kebayang kalau kami bener ke sini pagi-pagi buta. Itu namanya mengancam jiwa.
Jalan di antara belukar ini pun gak bisa berdua harus sendiri-sendiri karena sempit pas naik tebing pun kita harus pegangan ke akar-akar pohon supaya enggak tergelincir.Â
Saya juga tertegun dengan penduduk desa yang mengantar kami karena mereka kuat dan gesit banget dengan bawaan banyak. Mereka membawa sarapan dan minum kami.