Salah satu awal mula kecintaan gue sama traveling salah satunya karena perjalanan ini. Sebelum terbang ke Sulawesi, sempet cekcok juga sama kantor sebab meski udah izin awal-awal tetapi mendekati hari H justru izin dipertanyakan.
Gila banget kan?! untung akhirnya lolos juga, ya iya lah duit gue yang Rp 1,5 juta terbang ke sana masa harus gosong gara-gara ga jadi. Oh ya gue juga dapat harga Rp 1,5 juta all in berkat daftar open trip terakhir-akhir dan dikasih diskon. Murah banget kan, dengan pelayanan so so lah.
Perjalanan terbang ke Makassar untuk pertama kalinya lumayan horor karena saat itu hujan lebat, langit berkilat-kilat, guntur menggelegar. Ngeri banget. Penerbangan malam yang harusnya gue tidur nyenyak di dalamnya malah ketakutan, memejamkan mata sambil baca-baca beragam doa.
Alhamdulillah sampe juga di Makassar dengan bandara yang saat itu masih baru direnovasi dan keren banget mirip mal. Dari bandara kita enggak bisa berlama-lama karena mini bus udah menunggu untuk langsung cus ke Tana Toraja.
Beruntung gue termasuk orang yang pelor jadi kerjaannya di mobil tidur mulu dan perjalanan nyaris 12 jam enggak kerasa. Lama banget lho kita di mobil mulai dari jam 3 pagi dan baru sampai jam 3 sore. Di sela-sela perjalanan kita mampir ke gunung nona yang pemandangannya super bagus.
Gunung Nona
Gunung Nona adalah gunung kehijauan yang berada di wilayah Enrekang. Biasanya orang yang mau ke Toraja pasti mampir ke sini dulu. Sejuknya bukan main! sebenernya kita cuma bisa lihat gunung ini dari kejauhan yang terhampar hijau. Sambil menyeruput kopi, makan indomi ataupun numpang mandi kita berhenti sejenak di sini.
Di sini juga ada berbagai macam snack khas Enrekang, salah satu yang unik adalah keju asli Enrekang yaitu Dangke. Gw beli snacknya yang mirip cheese stick dan orang Jakarta banyak yang doyan lho.
Kita enggak berlama-lama di sini karena pulangnya toh kita akan istirahat lagi di sini. gitu katanya. perjalanan pun dilanjutkan hingga akhirnya kita sampai di gerbang selamat datang Tana Toraja.
Tana Toraja
Kota Toraja yang kaya akan budaya ini emang udah bertahun-tahun jadi tujuan wisata, dan mereka sadar banget sama potensi wisata mereka. Mulai dari sini semuanya terasa rata dengan rumah Tongkonan yang biasanya di dalamnya ada mayat-mayat disimpan untuk kemudian diupacarain kalau duit mereka udah terkumpul. Dalam upacara itu mereka harus menyembelih puluhan babi, makan bersama, menari dan menyanyi baru deh ditaro di bukit-bukit di sekitaran mereka.
Selama belum diupacarin, mayat mereka ditempatin juga di tongkonan  yang di luar tongkonan itu dipasang banyak tanduk kerbau, semakin tanduk kerbaunya banyak maka semakin dapat prestise mereka.
Pas banget waktu ke Toraja, ada upacara seorang jenazah polisi yang mau dikubur di tebing-tebing. Babi-babi hitam diarak untuk disembelih, di sisi lain para orang-orang menari-nari, selama itu dibacakan doa-doa oleh ketua adat. Entah kenapa gue berasa mistisnya dapet banget.
Habis selesai upacara mereka babi yang udah mati tadi dimasak trus dimakan rame-rame sama warga setempat. Sebenernya gue ketinggalan banget momen upacara ini, jadi gue sempetin tanya-tanya orang lokal sekalian buat berita.
Bener saja orang lokal Toraja sendiri sebenernya keberatan dengan upacara macam begini, kenapa? karena biayanya sungguh besar, mereka harus beli kerbau, beli babi dan macam-macam yang harganya bisa satu mercy.
Tak ayal akhirnya mereka menabung hanya untuk upacara, sementara untuk kebutuhan hidup, sekolah mereka harus pas-pasan kan kasian ya. Ya dilematis sih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H