Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata ke Singapura

30 Mei 2017   19:06 Diperbarui: 30 Mei 2017   19:30 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga bulan lalu saya berkesempatan mengunjungi Negeri Singa alias Singapura. Waktu itu perasaan saya benar-benar santai, padahal ini pertama kalinya saya ke luar negeri. Ya, sebabnya saya waktu itu sibuk kuliah dan kerja jadi saya baru sadar kalau saya mau ke luar negeri saat saya sudah berada di Changi Airport.

Di sana saya sudah berjanji dengan mantan teman kantor untuk bertemu dan tentunya bersedia menampung saya selama di Singapura. Tetapi saya cukup kesal di Changi karena antrean pemeriksaan paspor panjang dan wifi di Changi tidak jalan. Padahal saya pakai smartphone teranyar.

Dari sini saya sudah mempersiapkan diri agar jangan terlalu berharap di Singapura. Meski pun banyak yang bilang Singapura benar-benar negara yang membanggakan. Meski sempat cemas, akhirnya saya bertemu dengan si tuan rumah. Kami langsung cus dengan taksi ke asramanya di Green College di depan Botanical Garden. Saat itu tarif ke bandara sekitaran 200 ribu rupiah.

Saya bangun pagi dan mulai semangat untuk menjelejahi si Negeri Singa seorang diri. Sebab teman saya sibuk dengan tugasnya. Waktu itu teman saya super khawatir dan banyak berpesan soal ini dan itu. Hm dia belum tahu kalau saya terbiasa traveling sendiri

Hari pertama

Tujuan pertama saya langsung Merlion Park. Saya sempat nyasar di Raffles dan di mal dekat situ. Saya juga tidak suka wisata mal, maklum saya cuma orang pinggiran. Di Mal itu saya untuk pertama kalinya melihat kakek sekitar 50 tahunan membersihkan toilet. Saya terenyuh sampai saya segan buang air di situ. Saya semakin tidak mau buang air karena toiletnya jorok juga. Aduh ini ya Singapura yang terkenal bersih itu. Oh ya sebelumnya saya ke toilet di stasiun MRT kondisinya sama juga. Duh mengecewakan.

Kemudian saya semakin kesal karena mal di Rafless itu sepertinya panjang dan tak berujung. Akhirnya saya memutuskan untuk kabur lewat tangga darurat. Ups ketika keluar CCTV sudah 'memelototin' saya. Hahaha. Untuk diketahui Singapura rajanya CCTV kalau menurut Faucolt Singapura mencoba mengendalikan perilaku warganya dengan CCTV tersebut.

Saya pikir habis itu saya ditangkap satpol PP hehe. Setelah putar sana putar sini saya akhirnya menemukan stadion dan jreng!! di sampingnya ada si Singa putih. Ugh ramai benar, padahal baru jam 9 pagi.

Saya tidak kesulitan minta foto di sana karena banyak orang Indonesia hahaha. Yang paling saya suka, mungkin satu-satunya adalah es potong Merlion harganya 1 dolar dan wih! nikmat benar.


Merlion Park


Merlion Park

Dari Merlion, saya langsung lari ke Garden By The Bay yang pintu masuknya juga di dalam mal. Stress! lagi-lagi yang melihat banyak orang tua jadi cleaning service di sana, tragis!

Saya pernah bertanya pada teman saya soal masalah yang satu ini. Menurut dia, meski telah dijamin tetapi kebutuhan hidup kian mendesak dan tidak ada jaminan untuk orang tua atau terbatas.

Lagi lagi saya tudak terlalu terpukau dengan taman yang satu ini. Alasannya simpel sesuatu yang dibuat rasanya tidak sampai ke hati. Saya melongok sebentar dan langsung pergi ke Sentosa Island yang bikin penasaran.


Garden by The Bay

Di Sentosa Island seperti tempat ekslusif dengan tiket dan kendaraan tertentu. Setiap di MRT saya selalu lihat orang lebih gemar berdiri dibandingkan duduk. Yang paling parah jarang saya dengar mereka berbincang dengan manusia. Mereka lebih suka tertawa dengan iphone-nya. Duh tragis banget sih negara ini.

Karena dimana mana bayar saya memutuskan naik mobil keliling yang gratis. Saya sempat dibuat nyengir sendiri gara-gara saya baca papan peringatan di sana dan juga orang-orang di Singapura yang bahasa Inggrisnya kelewatan aneh. ya mereka menggunakan struktur bahasa Cina yang dimasukkan ke dalam bahasa Inggris. Jadinya gitu. wkwkwk

Saya ke pantai Siloso di Sentosa Island. Saya dibuat terperanjat dengan banyaknya tukang sapu di sana. Mungkin maksud hati mau jadi negara terbersih tapi enggak sampai segitunya juga sih hahaha. Di pantai banyak anak muda berjemur dan berenang mereka senang sekali. Mungkin jarang pantai di sini, dalam hati saya bergumam "dia enggak tahu secantik apa pantai di Indonesia".


Pantai Siloso

Lagi-lagi ini tidak membuat saya terpikat dalam pikiran saya, ini cuma keindahan buatan tangan. Apalagi dengan ada kapa kapal besar yang jaraknya kurang dari 1 km, bikin tambah perasaan aneh.

Ah sudahlah akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri perjalanan saya hari ini. Saya sempat duduk di bangku MRT yang saya pikir kosong tetapi orang India di sebelah saya memelototi saya. Ups ternyata saya berbagi tempat duduk dengan anak dia. Kalau di sana meski anak kecil jatah kursi harus dapat satu kursi dan tidak boleh berbagi. cih individualis sekali.

Oh ya, saya mampir untuk solat di Masjid Sultan di Bugis Strett. Saya merasa familiar dan dekat di sini. Banyak orang melayu tapi tetap saja di sekitaran masjid banyak kafe dan mal yang jual makanan dan minuman haram. Ampun deh.


Bugis Street

Hari ke-2

Hari kedua ini saya bersama teman saya yang masih mengantuk memutuskan pergi ke Johor Baru, Malaysia. dengan menyeberang bus kami ke sana dan memakan waktu sekitar 1,5 jam.

Yang saya sesalkan dalam waktu segitu kita tidak diperkenankan makan dan minum. hellow, nyiksa banget kan. Saya kemudian protes ke teman saya kalau Singapura harus bikin peraturan yang relevan dan masuk akal. Bisa-bisa orang dehidrasi kalau tidak minum selama 1,5 jam.

Di Johor kami terdampar di pasar yang berbatasan dengan terminal. Setelah makan, kita bingung hendak kemana karena Johor minim pariwisata. Perjalanan saya semakin kacau karena teman saya tampak tak bersemangat dan kami berulang kali salah turun naik mobil.

Kemudian berjanji mengantar saya ke Little India, saya ingat di sana dia mulai terpengaruh budaya SARA Singapura. Dia mewanti-wanti saya untuk hati-hati terhadap tas saya, dia bilang saya bisa lengah dimana saja tetapi tidak di Little India. Meski begitu saya tidak peduli saya bersikap wajar seperti biasa tanpa mengendurkan tingkat waspada saya.

Saya keling sana keliling sini, teman saya minta pulang karena dia sangat mengantuk. Kami sempat mampir ke kuil di dekat sana dan melihat upacara entah apa. Saya selalu tertarik dengan colourful-nya kuil mereka hehehe.


Salah satu kuil di Little India

Terakhir kami mampir ke swalayan, aduh saya lupa namanya. Saya hitung budget saya untuk bisa beli coklat yang lucu-lucu rasanya di sana. hehe. Akhirnya habis 400 ribu rupiah cuma beli cokelat.

Hari ke-3

Hari ketiga saya dibebani dengan balas budi kepada teman yang telah memberi tempat hidup. Dia minta saya untuk membuatkan kimbab. Hehehe dia suka kimbab buatan saya yang made in Indonesia sekali. Tapi ada satu tempat yang saya masih mau lihat. Itu China Town.


kuil di China Town

Jadi saya langsung meluncur ke sana pagi-pagi sekali dan belum banyak yang buka. Di sini saya kalap belanja oleh-oleh lagi karena unik dan murah. Ya Cina memang gudangnya murah hehe. Di sini saya terus menerus melihat jam karena takut tidak sempat masak. Apalagi mengingat saya harus pulang sore harinya.

Saya mampir ke kuil di sana, merah menyala langsung mencolok mata saya. Tapi untuk saya tidak sampai dibuat menangis. Foto-foto sebentar dan lagi mata saya pedih karena asap dupa. Akhirnya selepas masak saya berpamitan pulang ke Jakarta. Lagi-lagi teman saya tidak mengantar, tapi tidak apa saya cukup senang karena tidak banyak menghabiskan uang di sana. Sebagian besar uang saya habiskan untuk oleh-oleh kerabat dan sahabat. Sampai tas saya penuh oleh-oleh :).

Sampai di Changi ternyata pesawat berangkat jam 21.00 bukan jam 19.00 duh salah lagi, akhirnya saya habiskan untuk eksplore Changi tapi lagi-lagi semua terasa biasa saja. Meski ada mall, taman di dalam sana, tapi saya merasa tidak terlalu bernafsu rasanya semuanya fana. Mungkin satu satunya yang berkesan di Changi adalah alat pijatnya haha.

Sampai di Indonesia saya merasa semakin mencintai Indonesia, negeri kita lebih indah dari manapun salah satunya Singapura. Saya beruntung bisa memiliki Indonesia lengkap dengan serba serbi penduduknya. Dimana semua masih terlihat normal, orang tidak bicara dengan teknologi. Atau tidak memperlakukan kakek nenek sebagai babu. Meski teknologi dan modernisasi minim saya tetap ingin tinggal di sini dibanding harus tinggal di Singapura. padahal Singapura termasuk majemuk juga tetapi tidak seperti negara kita. Mereka tampak baik di belakang dengan suku-suku lainnya, tapi jika kalian perhatikan amat jarang si India bergaul dengan Cina atau dengan Bugis.

Sepertinya memang pemerintah sudah memisahkan mereka dengan keberadaan Bugis street, China Town dan Little India. Begitu juga dengan sekolah mereka. Sampai suatu ketika pemerintah mengkampanyekan persatuan lewat program yang isinya pernikahan antara si Cina dan India. Semua tampak baik tapi menurut saya pemeintah Singapura menyimpan api dalam sekam. Fuh, ketidaksetaraan, SARA pasti akan jadi pemicu bentrok selanjutnya di Singapura.

Oke sekian pendapat dan perjalanan panjang saya soal Singapura. Ingat! berjalan-jalan itu membuat kamu tahu seberapa besar cintamu pada Indonesia, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun