Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata ke Singapura

30 Mei 2017   19:06 Diperbarui: 30 Mei 2017   19:30 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ketiga saya dibebani dengan balas budi kepada teman yang telah memberi tempat hidup. Dia minta saya untuk membuatkan kimbab. Hehehe dia suka kimbab buatan saya yang made in Indonesia sekali. Tapi ada satu tempat yang saya masih mau lihat. Itu China Town.


kuil di China Town

Jadi saya langsung meluncur ke sana pagi-pagi sekali dan belum banyak yang buka. Di sini saya kalap belanja oleh-oleh lagi karena unik dan murah. Ya Cina memang gudangnya murah hehe. Di sini saya terus menerus melihat jam karena takut tidak sempat masak. Apalagi mengingat saya harus pulang sore harinya.

Saya mampir ke kuil di sana, merah menyala langsung mencolok mata saya. Tapi untuk saya tidak sampai dibuat menangis. Foto-foto sebentar dan lagi mata saya pedih karena asap dupa. Akhirnya selepas masak saya berpamitan pulang ke Jakarta. Lagi-lagi teman saya tidak mengantar, tapi tidak apa saya cukup senang karena tidak banyak menghabiskan uang di sana. Sebagian besar uang saya habiskan untuk oleh-oleh kerabat dan sahabat. Sampai tas saya penuh oleh-oleh :).

Sampai di Changi ternyata pesawat berangkat jam 21.00 bukan jam 19.00 duh salah lagi, akhirnya saya habiskan untuk eksplore Changi tapi lagi-lagi semua terasa biasa saja. Meski ada mall, taman di dalam sana, tapi saya merasa tidak terlalu bernafsu rasanya semuanya fana. Mungkin satu satunya yang berkesan di Changi adalah alat pijatnya haha.

Sampai di Indonesia saya merasa semakin mencintai Indonesia, negeri kita lebih indah dari manapun salah satunya Singapura. Saya beruntung bisa memiliki Indonesia lengkap dengan serba serbi penduduknya. Dimana semua masih terlihat normal, orang tidak bicara dengan teknologi. Atau tidak memperlakukan kakek nenek sebagai babu. Meski teknologi dan modernisasi minim saya tetap ingin tinggal di sini dibanding harus tinggal di Singapura. padahal Singapura termasuk majemuk juga tetapi tidak seperti negara kita. Mereka tampak baik di belakang dengan suku-suku lainnya, tapi jika kalian perhatikan amat jarang si India bergaul dengan Cina atau dengan Bugis.

Sepertinya memang pemerintah sudah memisahkan mereka dengan keberadaan Bugis street, China Town dan Little India. Begitu juga dengan sekolah mereka. Sampai suatu ketika pemerintah mengkampanyekan persatuan lewat program yang isinya pernikahan antara si Cina dan India. Semua tampak baik tapi menurut saya pemeintah Singapura menyimpan api dalam sekam. Fuh, ketidaksetaraan, SARA pasti akan jadi pemicu bentrok selanjutnya di Singapura.

Oke sekian pendapat dan perjalanan panjang saya soal Singapura. Ingat! berjalan-jalan itu membuat kamu tahu seberapa besar cintamu pada Indonesia, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun