Oleh: Sri Mulyati
Judol atau judi online menjadi semakin marak dengan meningkatnya konektivitas antara manusia dan perangkat. Menang membuat ketagihan, kalah membuat penasaran. Perjudian benar-benar telah meracuni kehidupan banyak orang. Ingin segera kaya, judi menjadi sarananya. Menginginkan uang tanpa berusaha maksimal, berjudi menjadi pilihan yang dangkal. Buktinya, ada lebih dari tiga juta orang yang mengikuti perjudian online (judol).
Bisnis perjudian bukanlah hal baru. Sejak dahulu kala, perjudian selalu menjadi momok bagi masyarakat dan penegak hukum. Jika dulu keberuntungan hanya dengan sambung ayam atau permainan kartu, namun seiring berkembangnya teknologi, jenis permainan judi pun semakin banyak. Bahkan bisa merambah ke setiap rumah dengan mengirimkan pesan-pesan khusus yang penuh rasa meyakinkan.
Konten perjudian online (judol) telah merambah ke situs pendidikan. Menteri Informasi dan Komunikasi Budi Arie Setiadi mengungkapkan judol kini telah menyusup ke situs pendidikan yang tercatat sebanyak 18.877 laman. Tidak hanya itu, judi online juga sudah meluas hingga mencakup kalangan pelajar.Â
Menurut Ketua DPD Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Kabupaten Demak Ng. Noor Salim, berdasarkan temuan PGSI, Â jumlah siswa SD/MI, MTs/SMP, MA/SMA di Demak berjumlah sekitar 40.000 siswa. "Hingga 30% berpartisipasi dalam permainan yang terkait dengan perjudian online, sedangkan mereka yang mengakses perjudian online berjumlah sekitar 5%," katanya.
 Mirisnya, banyak juga anggota dewan yang bermain judi online. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, lebih dari 1.000  anggota legislatif di tingkat DPR dan DPRD sedang bermain judi online (judol). Hal itu diungkapkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana saat rapat dengan DPR RI, Rabu (26 Juni 2024).Â
Ivan mengatakan PPATK mencatat  sekitar 63.000 transaksi dengan jumlah pemain mencapai 1.000 orang. Pemain tersebut semuanya ada di lingkungan legislatif, mulai dari anggota DPR dan DPRD hingga sekretaris jenderal. Ia juga mengatakan jumlah transaksinya mencapai miliaran.
 Fakta bahwa anggota dewan terlibat dalam perjudian online  sungguh mengkhawatirkan. Betapa tidak, mereka adalah wakil rakyat yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi rakyat yang diwakilinya. Namun, mereka melakukan tindakan pembangkangan dan  kriminal.Â
Meningkatnya perjudian online di kalangan wakil rakyat akan  berbahaya karena dapat mempengaruhi dukungan mereka terhadap peraturan perjudian online. Ada kemungkinan bahwa anggota dewan pelaku perjudian online akan menuntut legalisasi perjudian online untuk melindungi operasi mereka.
Keharaman judi sudah Allah Taala tegaskan di dalam QS Al-Maidah 90---91, "Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah kamu mau berhenti?"
Sekularisme menjadikan manusia (anggota pemerintahan dan majelis) untuk mengabaikan hukum agama dalam mengatur kehidupannya. Alhasil, permainan untung-untungan (judi) yang jelas-jelas haram malah diperbolehkan (dilegalkan).
Saat ini perjudian sangat dilarang oleh undang-undang, namun ternyata perjudian online sangat populer di  masyarakat. Negara sepertinya tidak mampu menyelesaikan masalah perjudian online, hal ini wajar karena banyak pejabatnya  yang berjudi online. Bagaimana Negara memberantas perjudian online jika pejabat Negaralah yang menjadi pelaku perjudian online?
 Walaupun dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan judi online sangat berbahaya, namun solusi yang dilakukan pemerintah masih belum menyentuh akar permasalahannya. Pemerintah tampaknya tidak berdaya  melawan judol.Â
Hal ini terlihat dari pernyataan Budi Arie yang menyatakan pemerintah menganggap  pemain judol sebagai "korban", sehingga tindakan yang dilakukan bukanlah penangkapan melainkan rehabilitasi. Jika pelaku judol dianggap sebagai korban, tentu tidak  ada hukuman bagi pelaku judol. Hal ini jelas tidak akan memberikan efek jera dan hanya akan memperburuk keadaan.
Dalam sistem Islam, kepala negara sangat selektif dalam merekrut orang untuk menjadi aparat penegak hukum. Syarat-syarat tertentu harus dipenuhi agar layak dipercaya masyarakat. Tercatat dalam sejarah Kekhalifahan Abbasiyah. Polisi pada masa itu diangkat atas dasar ilmu, ketakwaan, penguasaan fiqih dan penegak hukum Allah. Ada seorang kepala polisi bernama Ibrahim bin Husain. Beliau adalah orang yang mulia dan baik hati, ahli dalam bidang fiqih dan ahli dalam penafsiran. Kisahnya  luar biasa karena menghukum orang yang  bersumpah palsu (lihat kitab Tabshiratu al-Hukkam).
 Memang benar, kembalinya sistem Islam tidak bisa dihindari. Sejarah gemilang dan rangkaian prestasi penegakan hukum dalam sistem Islam dapat kita saksikan kembali jika kita berupaya mendirikan Khilafah. Apakah kita termasuk dalam barisan tempurnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H